Namun, Indonesia dan Australia justru mendapat pengecualian berkat adanya kesepakatan perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) China-Asean yang berlaku sejak 2015.
Dalam kaitan itu, Sutopo mengatakan, semestinya yang paling terdampak dalam kebijakan tersebut yakni negara-negara eksportir batu bara kokas seperti Rusia dan Mongolia, sebagai negara pemasok terbesar ke konsumen bahan bakar fosil terbesar di dunia itu.
"Perubahan tarif impor memiliki dampak yang terbatas terhadap peningkatan volume impor, karena impor batu bara China dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti ketegangan geopolitik dan keterbatasan logistik."
Rusia sendiri telah menjadi pengirim batu bara kedua terbesar ke China dan tujuan jangka panjang kedua negara adalah mencapai pasokan tahunan sebanyak 100 juta ton.
Penjualan batu bara bulanan Rusia ke China telah menurun sejak mencapai puncaknya sebesar lebih dari 10 juta ton pada Juni 2023 karena pengiriman batu bara tersebut menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara asal lainnya.
Penurunan itu juga diklaim akan lebih parah setelah penerapan pajak tersebut diberlakukan kembali.
Adapun, pemberlakukan kebijakan tarif itu memang dimaksudkan untuk melindungi perusahaan pertambangan China dari dampak kelebihan pasokan, setelah produksi dalam negeri juga meningkat ke titik tertinggi sepanjang masa.
"Kebijakan ini merupakan kebijakan ekonomi. China memiliki kebiasaan untuk mengumpulkan persediaan komoditas sebanyak-banyaknya dikala harga jatuh, hal ini tidak hanya terbatas pada batu bara, tetapi juga sumber energi lainya termasuk komoditas pertanian," jelas Sutopo.
(wdh)