Logo Bloomberg Technoz

Inflasi inti yang melemah itu terdampak biaya sewa rumah yang turun, upah Asisten Rumah Tangga dan perhiasan emas, menurut penjelasan BPS.

Inflasi inti yang semakin rendah di level terlemah dalam dua tahun ini bisa dibaca sebagai indikasi melemahnya konsumsi masyarakat yang sejatinya menjadi motor utama pertumbuhan utama Indonesia setelah kinerja ekspor terus melemah terdampak perkembangan ekonomi global. Bila tekanan permintaan berlanjut, pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa lebih suram ketimbang capaian 2023 yang sudah melambat dibanding tahun sebelumnya.

Inflasi inti Indonesia pada Desember menurun ke level terendah dalam dua tahun terakhir (Dok. Bloomberga)

Pada kuartal III-2023, sumbangan konsumsi rumah tangga pada Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 52,62%, tumbuh 5,06% year-on-year, melambat dibanding kuartal sebelumnya yang masih tumbuh 5,22% secara tahunan.

Sementara sumbangan ekspor ada di urutan ketiga sebesar 21,26% dengan laju yang menurun pada kuartal III tahun lalu hingga -4,26%, terdampak perlambatan ekonomi global terutama dari China yang masih berjibaku memulihkan perekonomian.

Perlambatan konsumsi masyarakat yang sudah terlihat semakin kentara seperti tecermin dari inflasi inti yang kian rendah, membawa pertumbuhan ekonomi 2023 lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.

"Kinerja ekonomi resilient di tengah pelemahan global. Ekonomi kita masih tumbuh, diperkirakan 5% sampai akhir tahun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparan APBN Kita 2023, hari ini (2/1/2024).

Pemerintah memperkirakan, pertumbuhan ekonomi setahun kemarin melambat mencapai 5,05%, lebih rendah dibandingkan capaian 2022 yang mencapai 5,31%.

Faktor China

Untuk 2024, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi RI bisa mencapai 5,2%. Sementara beberapa lembaga internasional memprediksi pertumbuhan ekonomi masih tetap kuat di kisaran 5% seperti dilansir oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB).

Sedangkan The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bahkan memprediksi lebih tinggi bahwa Indonesia akan tumbuh 5,2% pada 2024, senada dengan perkiraan pemerintah.

Sejauh ini, prediksi World Bank (Bank Dunia) yang lebih pesimistis di mana pada tahun ini Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 4,9%.

Bank Dunia melihat, salah satu hal utama yang membuat pertumbuhan ekonomi RI tahun ini sulit berkibar adalah karena dampak perekonomian China. China sejauh ini masih berjibaku membangkitkan perekonomian yang menghadapi masalah fundamental mulai pelemahan permintaan, krisis properti dan lain-lain.

Nilai ekspor RI ke China sudah melampaui 25%, tepatnya 26,11% dari total ekspor nonmigas per November 2023. Pelemahan permintaan dari Negeri Tirai Bambu itu sudah tentu mempengaruhi pula kinerja ekspor Indonesia seperti yang terlihat sepanjang 2023 yang berada di teritori negatif dalam enam bulan berturut-turut.

Kinerja manufaktur Asia 2023 (Dok.Bloomberg)

Ekspor ke China turun 6,44% pada November sementara bila dibanding 12 bulan sebelumnya, penurunannya bahkan lebih dalam hingga 13,86%. Walau sejauh ini bila dibandingkan negara-negara Asia lain, dampak kelesuan China pada Indonesia masih lebih kecil bila diukur dari indeks manufaktur di mana Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia berada di 52,2 pada Desember 2023, ekspansif dalam 28 bulan berturut-turut.

Dalam lanskap kinerja ekspor diprediksi masih akan menghadapi tantangan, perekonomian RI akan banyak mengandalkan konsumsi domestik di mana bila itu terus tertekan lonjakan harga dan sempitnya lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi 2024 akan jadi pertaruhan.

'Makan Tabungan'

Tekanan daya beli juga terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang semakin rendah. Masyarakat diduga mulai banyak memakai tabungan, fenomena 'makan tabungan', untuk membiayai kebutuhan konsumsi.

Pada November lalu, DPK hanya tumbuh 3,8% menurut laporan BI. Lebih rendah dibanding Oktober 3,9% dan jauh lebih kecil bila dibanding November 2022 yang mencapai 9,4%.

Nilai dana masyarakat di produk tabungan bank hanya tumbuh 2,5%, untuk nasabah perorangan pada November lalu. Sementara untuk produk deposito, secara keseluruhan juga melambat pertumbuhannya hanya 5,2% bulan lalu, lebih rendah dibanding 6,9% bulan sebelumnya.

Sementara itu, data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terbaru juga memperlihatkan, produk tabungan bank menjadi salah satu jenis produk simpanan yang turun nilainya pada November, dengan penurunan -0,2%, melanjutkan penurunan yang telah terjadi pada Oktober lalu sebesar -1,3%. 

Seirama, data yang dilansir oleh Mandiri Spending Index November, memperlihatkan, indeks tabungan masyarakat bawah dengan penghasilan kurang dari Rp1 juta sudah tergerus lebih dari separuh atau 53% ke level 47,4.

Sementara kelompok penghasilan menengah, Rp1 juta-Rp10 juta, indeks tabungannya stagnan di 98,5. Begitu juga kelompok penghasilan atas dengan penghasilan di atas Rp10 juta, indeks tabungan juga stabil 96,3.

Penurunan tabungan masyarakat di kelompok penghasilan bawah banyak digunakan untuk konsumsi barang habis pakai (consumer goods) seperti makanan dan minuman, mencapai 62% dari total belanja. Lalu, untuk belanja barang elektronik 13,6% dan transportasi 7,7%.

"Pola konsumsi masyarakat sudah defensif di mana porsi terbesar itu untuk belanja makanan. Itu ciri ekonomi yang melambat. Kita bisa lihat ada kemungkinan tekanan dari konsumsi," kata Chatib Basri, Ekonom Senior Universitas Indonesia dan mantan Menteri Keuangan, beberapa waktu lalu.

Tekanan daya beli domestik berlangsung di tengah angka pengangguran yang masih tinggi di mana jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur di Indonesia per Agustus 2023 mencapai 17,2 juta orang, lebih tinggi dibanding tahun 2022 sebesar 16,99 juta orang.

(rui/aji)

No more pages