Bloomberg Technoz, Jakarta - Harga batu bara naik pada perdagangan akhir pekan lalu. Namun kenaikan itu tidak banyak membantu karena 2023 bukan periode yang gemilang bagi si batu hitam.
Pada Jumat (29/12/2023), harga batu bara di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 146,4/ton. Naik 0,65% dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam sepekan terakhir, harga batu bara naik 0,62% secara point-to-point. Selama sebulan ke belakang, harga melesat 10,78%.
Namun sepanjang 2023, harga batu bara ambruk 63,78%. Koreksi ini memutus rantai kenaikan yang sebelumnya terjadi 3 tahun beruntun.
Salah satu penyebab kejatuhan harga batu bara adalah penurunan harga gas. Sepanjang 2023, harga gas TTF Belanda dan di Inggris anjlok masing-masing 57,61% dan 56,62%.
Ketika harga gas turun, maka insentif untuk berpaling ke batu bara menjadi rendah. Ini yang menyebabkan harga batu bara ikut jatuh.
Pada 2022, dunia dikejutkan oleh serangan Rusia ke Ukraina yang kemudian melambungkan harga komoditas energi, termasuk batu bara. Pada 2023, krisis energi itu sudah mereda dan pasokan kembali berlimpah.
Salah satu yang melimpah adalah gas alam. Mengutip catatan S&P Global, penyimpanan (storage) gas alam di Eropa per 3 Oktober sudah terisi 95,99%.
“Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan musim dingin 2021/2022 di mana stok hanya tersisa 25,6%,” sebut riset S&P Global.
Analisis Teknikal
Secara teknikal dengan perspektif harian (daily time frame), sebenarnya batu bara masih bullish. Terlihat dari Relative Strength Index (RSI) yang sebesar 67,56. RSI di atas 50 mengindikasikan suatu aset sedang di posisi bullish.
Sedangkan indikator Stochastic RSI berada di 68,8. Masih cukup jauh dari 80, sehingga belum jenuh beli (overbought).
Oleh karena itu, ruang kenaikan harga batu bara masih terbuka meski relatif terbatas. Target resisten terdekat adalah US$ 148/ton yang jika tertembus maka US$ 151/ton bisa menjadi resisten berikutnya.
Sementara target support terdekat ada di US$ 142/ton. Penembusan di titik ini bisa membawa harga batu bara turun hingga US$ 132/ton.
(aji)