Popularitas ratu, yang dikenal dengan kecerdasan dan kemampuan artistiknya, telah mendukung monarki tertua di Eropa itu selama setengah abad di mana Denmark mengalami perubahan sosial yang besar, dan istana kerajaan di tempat lain di Eropa terperosok dalam skandal.
Posisinya sebagai ratu dalam negara dengan konstitusi demokratis tidak pernah dipertanyakan secara luas. Dalam jajak pendapat tahun 2022 oleh surat kabar Jyllands-Posten, 72% orang Denmark mengaku mendukung monarki. Dalam survei tahun 2023 oleh TV2, 78% mengatakan mereka mengharapkan Denmark masih memiliki monarki dalam 50 tahun, naik dari 67% dalam jajak pendapat tahun 2015.
Bukan berarti pemerintahan Margrethe bebas dari krisis. Pada tahun 2022, ia mencabut gelar kerajaan dari empat cucunya dalam langkah perampingan, memicu apa yang ia akui sebagai "reaksi keras". Dan selama tahun-tahun terakhir suaminya yang sakit, ia mengeluh di depan umum tentang perannya.
Sebagian daya tarik ratu berasal dari berbagai bakatnya. Ia fasih berbahasa Denmark, Jerman, Inggris, Prancis, dan Swedia. Karyanya sebagai seorang seniman telah mencakup lukisan, ilustrasi buku, desain kostum teater, dan tekstil gereja. Karya-karyanya telah ditampilkan di lebih dari 50 museum dari Tokyo hingga Washington.
Pada tahun 1981, dengan menggunakan nama samaran, ia menerjemahkan ke dalam bahasa Denmark sebuah buku oleh filsuf dan feminis Prancis Simone de Beauvoir berjudul All Men Are Mortal.
Meskipun Margrethe adalah wanita pertama yang memerintah Denmark dalam 560 tahun, ia menolak untuk secara vokal mempromosikan kesetaraan gender, yang membuat kecewa beberapa anggota kelompok hak asasi perempuan Denmark.
"Saya memilih untuk tidak terlibat dalam gerakan apa pun," katanya selama perjalanan ke AS pada tahun 1976, ketika isu gender menjadi agenda utama di tanah airnya. "Saya bersimpati pada hal itu, tetapi tugas saya adalah menjadi ratu, dan itu membutuhkan semua kemampuan dan kekuatan saya."
Tanpa Putra
Margrethe lahir pada 16 April 1940, anak pertama dari tiga putri Raja Frederik IX dan Ratu Ingrid. Kelahirannya di istana kerajaan Kopenhagen terjadi seminggu setelah Nazi Jerman menyerang dan menduduki Denmark.
Pada saat itu, ia tidak berada di urutan untuk menjadi kepala negara, karena konstitusi hanya mengizinkan suksesi laki-laki. Hal ini berarti monarki akan diwariskan kepada pamannya, Knud.
Namun, sentimen rakyat mendukung putri muda yang cerdas ini. Sebuah referendum konstitusi diadakan pada tahun 1953 yang membuka jalan bagi suksesi perempuan jika pasangan kerajaan tidak memiliki anak laki-laki. Pada tahun 2009, hukum suksesi diubah lagi untuk memberikan hak tahkta kepada anak sulung, terlepas dari jenis kelamin.
Pada tahun 1960-1965, Putri Mahkota Margrethe belajar di Universitas Kopenhagen, Universitas Cambridge, London School of Economics, dan Sorbonne, menyelesaikan kuliah di bidang arkeologi dan ilmu politik.
Margrethe pernah berkata bahwa jika ia bukan seorang ratu, ia akan bingung memilih menjadi arkeolog atau seniman.
"Saya beruntung tidak pernah menghadapi dilema itu karena saya tahu apa tugas saya, tetapi kemudian menemukan bahwa saya masih bisa mengejar seni dan juga arkeologi sampai batas tertentu," kata ratu dalam buku wawancara di tahun 2011, M, oleh penulis Jens Andersen.
'Saya Minta Maaf'
Pada tahun 1967, ia menikah dengan Henri Marie Jean Andre, seorang bangsawan Prancis yang tumbuh besar di Vietnam. Ia mengambil nama Denmark Pangeran Mahkota Henrik. Mereka dikaruniai dua putra: Putra Mahkota Frederik pada tahun 1968 dan Pangeran Joachim pada tahun berikutnya.
Ia naik tahkta pada tahun 1972 setelah kematian ayahnya dan menyeimbangkan pekerjaannya sebagai seniman dengan tugas-tugas kerajaan.
Margrethe menghadapi krisis publik terbesarnya dalam tahun-tahun terakhir pernikahannya. Kala itu Henrik berulang kali mengeluh tentang perannya dan mengatakan dia seharusnya diberi gelar raja.
Pada tahun 2017, ia mengatakan tidak ingin dimakamkan bersama istrinya di Katedral Roskilde, seperti yang telah direncanakan. Belakangan pada tahun itu, istana kerajaan mengeluarkan pernyataan bahwa pangeran menderita demensia.
Ketika meninggal pada tahun 2018, di usia 83 tahun, Henrik dikremasi, dan sebagian abunya ditempatkan di taman sebuah istana kerajaan dekat Kopenhagen. Bagian lainnya disebar di perairan Denmark, sesuai keinginannya.
Keputusan untuk mencabut gelar anak-anak dari putra bungsu Margrethe mengikuti pengurangan serupa di istana kerajaan lainnya, seperti di Swedia. Seminggu setelah diumumkan, Margrethe meminta maaf kepada keluarganya tetapi tetap pada keputusannya, dengan mengatakan itu "sesuai dengan zaman" dan diperlukan untuk "menegaskan masa depan" institusi, menurut istana kerajaan.
"Saya telah membuat keputusan saya sebagai Ratu, ibu dan nenek. Tetapi, sebagai ibu dan nenek, saya telah meremehkan betapa anak bungsu saya dan keluarganya merasa terkena dampaknya," katanya dalam pernyataan tertulis saat itu. "Itu memberikan kesan yang besar, dan untuk itu saya minta maaf."
Ratu menderita sakit punggung dan lutut di tahun-tahun berikutnya. Setelah menjalani operasi pada tahun 2023, ia berhenti dari kebiasaan merokok berat, yang telah berlangsung selama 66 tahun dan kerap menjadi bahan perdebatan. Para ahli kesehatan telah meminta ratu untuk menjadi teladan yang lebih baik.
(bbn)