“Kalau dari sisi Indonesia, ini cukup mengkhawatirkan, karena pada 2023 saja produksi terus menurun atau tidak mencapai target. Nah, kalau bisa memang pemerintah harus mencari solusinya. Semoga [tahun depan kinerja lifting] lebih baik.”
Angin Segar
Moshe melihat masih ada celah bagi Indonesia untuk memperbaiki kinerja produksi siap jual minyak nasional, lantaran beberapa proyek baru di hulu migas sudah mulai dijalankan dan menjadi angin segar bagi peningkatan produksi.
Salah satu yang bisa dijadikan tulang punggung, sebut Moshe, adalah Blok Rokan. Dia mengatakan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) tercatat cukup agresif melakukan pengeboran untuk di blok tersebut guna mengerem laju penurunan produksi minyak nasional.
“Upaya tersebut tidak bisa hanya dengan mengebor saja. Kita harus menaikkan produksi. Nah, menaikkan produksi itu ada dua cara. Satu, dengan teknologi seperti EOR [enhanced oil recovery]. Dua, dengan eksplorasi.”
EOR, sambung Moshe, adalah solusi jangka menengah, sedangkan eksplorasi merupakan strategi jangka panjang.
“Di satu sisi memang kita juga harus berusaha sekeras mungkin untuk menekan produksi dengan pengeboran. Rokan kemarin baru menajak 1.000 sumur. Cuma kan itu enggak begitu efektif ya karena biayanya luar biasa miliaran dolar untuk pengeboran itu, tetapi peningkatan produksinya juga tidak begitu signifikan,” kata Moshe.
Untuk itu, dia berpendapat cara yang lebih efektif adalah melalui investasi EOR yang teknologinya harus terus didorong oleh pemerintah. Namun, pemerintah harus memiliki aplikasi EOR yang cocok dengan karakteristik lapangan minyak di Indonesia, tidak sekadar mengikuti tren di luar negeri.
“EOR itu kan banyak yang mahal-mahal, tidak ekonomis, lalu belum terbukti. Jangan kita fokus ke situ. Fokus ke teknologi yang baru, tetapi juga sudah terbukti, ekonomis, dan bisa meningkatkan produksi secara signifikan. Semoga 2024 itu sudah jalan.”
Realisasi Pengeboran
Mengutip data terakhir Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi pengeboran sumur eksplorasi per November 2023 telah mencapai 31 sumur.
“Kami terus mengoptimalkan sisa waktu pada Desember 2023, agar target 41 sumur eksplorasi bisa direalisasikan,” jelas Surya Widyantoro, Kepala Divisi Pengeboran dan Sumuran SKK Migas, akhir pekan lalu.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, pada kesempatan terpisah, menyebut pada tahun ini industri hulu migas diadang kendala dari sisi keterlambatan proyek yang diklaimnya sebagai dampak dari pandemi Covid-19 beberapa tahun terakhir.
“Proyek-proyek besar seperti Tangguh Train 3 maupun JTB [Jambaran Tiung Biru] tidak lepas dari pengaruh pandemi. Maka, 2 tahun proyek ini tergeser, sehingga yang diperkirakan akhir 2022 dan [bisa beroperasi] optimal 2023, ini bergeser,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, akhir November.
Pun demikian, Dwi mengatakan rasio penggantian cadangan atau reserve replacement ratio (RRR) minyak dan gas bumi – khususnya melalui eksplorasi – masih bisa dipertahankan di level 100% pada tahun ini.
Atas dasar itu, dia optimistis kegiatan eksplorasi migas di Tanah Air akan memulai momentum kebangkitannya.
“Berbagai temuan [cadangan migas], kami akan laporkan juga dan sudah banyak kami baca. Insyaallah untuk RRR akan 143,7%, jadi ini cukup bagus,” tuturnya.
Bagaimanapun, Dwi tidak menampik target lifting sampai dengan akhir tahun ini akan meleset dari 660.000 barel per hari (bph) sesuai asumsi makro 2023. Sampai dengan Oktober, realisasi produksi siap jual hanya sanggup menyentuh 621.000 bph.
“Kami laporkan, [kinerja lifting] 2022 itu adalah 612.000 bph, sehingga kami sudah cukup gembira bisa mulai kita pertahankan dan kita harapkan sedikit naik [pada tahun ini].”
(wdh)