Logo Bloomberg Technoz

Sementara itu, data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terbaru juga memperlihatkan, produk tabungan bank menjadi salah satu jenis produk simpanan yang turun nilainya pada November, dengan penurunan -0,2%, melanjutkan penurunan yang telah terjadi pada Oktober lalu sebesar -1,3%. 

Seirama, data yang dilansir oleh Mandiri Spending Index November, memperlihatkan, indeks tabungan masyarakat bawah dengan penghasilan kurang dari Rp1 juta sudah tergerus lebih dari separuh atau 53% ke level 47,4.

Sementara kelompok penghasilan menengah, Rp1 juta-Rp10 juta, indeks tabungannya stagnan di 98,5. Begitu juga kelompok penghasilan atas dengan penghasilan di atas Rp10 juta, indeks tabungan juga stabil 96,3.

Penurunan tabungan masyarakat di kelompok penghasilan bawah banyak digunakan untuk konsumsi barang habis pakai (consumer good) seperti makanan dan minuman, mencapai 62% dari total belanja. Lalu, untuk belanja barang elektronik 13,6% dan transportasi 7,7%.

"Pola konsumsi masyarakat sudah defensif di mana porsi terbesar itu untuk belanja makanan. Itu ciri ekonomi yang melambat. Kita bisa lihat ada kemungkinan tekanan dari konsumsi," kata Chatib Basri, ekonom senior Universitas Indonesia, pekan lalu.

Makanan pengeluaran terbesar

Pembeli menunggu pesanan makanan di Warung Kerek Ember, Kuningan Barat, Jakarta, Selasa (5/12/2023) (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Kenaikan harga beras sebaiknya memang tidak diremehkan, terlebih bila lonjakan harga terus berlanjut sampai tahun depan. Pasalnya, selama ini pengeluaran terbesar rumah tangga di Indonesia, terutama untuk penghasilan bawah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, garis kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 tercatat sebesar  Rp507.286/kapita/bulan. Dari jumlah itu, sebanyak 75,78% adalah untuk pengeluaran makanan, dan nonmakanan sebesar 24,22%. 

Ini yang menjelaskan tingkat sensitivitas kelas bawah terhadap pergerakan harga pangan, termasuk beras. Kenaikan beras yang sudah mencapai lebih dari 19% tahun ini dipastikan semakin membuat kelompok ini semakin terpuruk. Kelompok di atasnya dengan pendapatan lebih banyak, kelas menengah, juga terlihat mulai terkena dampak.

Hasil survei konsumen November yang dilansir oleh BI terakhir memperlihatkan, mayoritas masyarakat menilai kondisi keuangan mereka saat ini lebih buruk dibandingkan enam bulan lalu. Terutama dirasakan oleh kelompok dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta, lalu kelompok menengah dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta dan kelompok pengeluaran di atas Rp5 juta.

Kelompok pendapatan yang sama juga mencatat penurunan penghasilan saat ini dibanding enam bulan lalu, terutama oleh kelompok bawah. Dengan harga beras yang masih melesat tinggi, masyarakat Indonesia dan dunia sepertinya masih akan menghadapi kenaikan pengeluaran akibat harga beras yang mahal tahun depan.

Catatan ekonom, biasanya ada lag time atau jeda waktu di mana perkiraan puncak inflasi harga beras bakal meningkat 6-9 bulan ke depan. "Kemungkinan besar kita bisa melihat akan ada tren peningkatan inflasi di pertengahan tahun depan karena ada lag time untuk penyesuaian waktu dari puncak El Nino kepada inflasi pangan itu sendiri,” kata Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata, akhir September lalu.

Produksi padi terancam turun hingga 5 juta ton karena El Nino dan bisa berdampak pada harga beras (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Berdasarkan kajian, inflasi pangan akan meningkat pada 6-9 bulan setelah puncak El Nino. Puncak El Nino oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) semula diprediksi terjadi bulan Agustus-September, kemudian diperbarui lagi dengan prediksi puncaknya terjadi pada April 2024. 

“Puncak El Nino, ada kecenderungan ataupun tren inflasi pangan akan meningkat biasanya 6-9 bulan dari puncak El Nino itu terjadi. Ini kami melakukan pengamatan untuk beberapa komoditas pangan seperti beras, gandung, mie, gula, kopi, dan minyak kelapa sawit,” jelas Josua.

Harga beras tahun 2023 terus memperbarui rekor termahal sepanjang masa. Di ujung tahun ini, harga beras Thailand yang menjadi acuan harga beras di Asia, kawasan dengan nilai konsumsi terbesar, kembali memecahkan rekor tertinggi baru, termahal dalam 15 tahun terakhir.

Data yang dilansir oleh Asosiasi Eksportir Beras Thailand pada Rabu (27/12/2023), menunjukkan, beras putih Thailand dengan pecahan 5% yang menjadi patokan harga beras di Asia, naik selama tiga pekan berturut-turut ke level harga US$659 per ton, level harga tertinggi sejak Oktober 2008. Alhasil, sepanjang tahun ini, harga beras dunia sudah naik hingga 38%, seperti dilaporkan oleh Bloomberg News, hari ini.

Di pasar dalam negeri, harga beras juga tak terbendung di mana pada November lalu di tingkat pengecer kenaikannya sudah mencapai 19,2%. Bahkan harga beras di tingkat grosir naik sampai 21,5% dan di tingkat penggilingan kenaikannya mencapai 27,5% year-on-year, menurut laporan BPS.

Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya pekan lalu mengakui masalah pangan masih menjadi kewaspadaan tinggi pemerintah meski sejauh ini RI sudah mengamankan pasokan beras dengan tambahan beras impor dari India dan Thailand total sebanyak 3 juta ton. "Saya masih khawatir soal komoditas pangan. Tahun 2024 kita perkirakan belum kembali normal," kata Jokowi di Jakarta, 22 Desember lalu. 

Optimisme 2024

Namun, Jokowi menilai, di tengah tekanan harga pangan juga konflik geopolitik yang masih berlangsung di Eropa maupun Timur Tengah, Indonesia memiliki cukup alasan untuk mempertahankan optimisme.

"Saya masih optimistis pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 5%. Namun, tetap harus ingat dan waspada bahwa ketidakpastian global masih berlanjut, konflik Timur Tengah belum selesai meski harga minyak kelihatannya sudah tidak bergejolak dan harga komoditas pangan masih harus hati-hati," jelas Jokowi.

Pedagang beras melayani pembeli di kawasan Pejaten, Jakarta, Senin (11/9/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Laporan Mandiri Institute yang dilansir 19 Desember lalu mencatat, 43% kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mencatat kenaikan omset. Sementara 41% UMKM mengaku omsetnya tetap dan 15% mengalami penurunan omset.

Meski begitu, 53% pelaku UMKM optimistis keadaan ekonomi akan membaik ke depan. Di mana untuk tantangan menghadapi kenaikan harga bahan baku sebagian besar yaitu 43% akan diatasi dengan mencari pemasok alternatif atau menaikkan harga jual.

(rui/roy)

No more pages