Penikmat pertumbuhan trafik data adalah pebisnis OTT, yang belum diregulasi secara ketat. Berdasarkan data SNS Insider, lanjut Sigit, industri OTT asing akan menikmati dapat meraup hasil bisnis US$1,95 triliun pada tahun 2023. Sedangkan pencapaian tahun 2021 sudah menyentuh angka US$295,25 miliar.
Menurut Sigit, hal ini menjadi bukti bahwa layanan OTT punya potensi besar naik secara eksponensial, sedangkan pendapatan operator seluler —yang menyediakan jaringan internet—masih saja datar.
“Jadi keuntungan buat operator ya segitu-segitu saja, profitability-nya datar-datar saja, sementara trafik masih akan naik terus,” tegas dia.
Ia mencontohkan bagaimana realisasi pendapatan salah satu operator seluler Telkomsel —salah satu operator telekomunikasi terbesar di Indonesia — mencapai Rp147 triliun pada tahun 2022, dengan laba bersih Rp25,8 triliun. Jika dibandingkan raihan pelaku OTT macam Google di tahun yang sama, amat timpang. Google, lanjut Sigit, mampu mengumpulkan pendapatan US$283 miliar atau sekitar Rp4.289 triliun.
MASTEL telah lama mendorong regulasi terhadap OTT, meski mendapat penolakan. Salah satunya adalah kewajiban memiliki badan usaha tetap, yang secara otomatis pelaku usaha OTT harus memenuhi syarat administratif atas keberlangsungan bisnis di Indonesia.
MASTEL berpandangan bahwa OTT belum memenuhi aturan yang berlaku secara penuh. Padahal ini penting agar menciptakan perlakuan yang setara, termasuk sisi persaingan usaha, perlindungan konsumen, keamanan, perpajakan, telekomunikasi, informasi, transaksi elektronik, atau lainnya.
“Pemerintah memberi batas waktu yang tegas untuk memenuhi ketentuan dan mengenakan sanksi apabila ketentuan yang dipersyaratkan tidak terpenuhi,” tulis MASTEL.
OTT asing sempet memberi tanggapan dan menyatakan keberatan rencana pengaturan bisnis mereka di dalam negeri, dimana salah satunya usulan kewajiban kerja sama dengan para operator telekomunikasi Indonesia. Empat poin yang menjadi isu yang disampaikan; Kewajiban kerja sama akan mengganggu investasi bahkan menjadi outliner, Pelaku OTT mengusulkan pendekatan voluntary dan tidak perlu diregulasi, Rencana kerja sama tidak sesuai dengan prinsip net-neutrality yang diterapkan di beberapa negara, dan Lebih baik diserahkan kepada diskresi masing-masing pelaku usaha.
MASTEL, bersama asosiasi lain seeprti APJII, APJATEL, dan APNATEL, merespon keberatan OTT asing, dengan berpendapat bahwa kerja sama justru akan menjamin keberlangsungan ekosistem masyarakat digital. "Sama sekali bukan hal yang aneh jika hal ini dikuatkan dalam berbagai bentuk regulasi," tulis mereka.
"Khusus untuk sektor telekomunikasi yang menjadi elemen paling fundamental dan terpenting dalam membangun masyarakat digital, lebih jelas lagi semangat kerja sama antar penyelenggara ini telah diwajibkan dalam Undang-Undang Telekomunikasi No.36 Tahun 1999, dan norma ini belum pernah dibatalkan. Maka, penolakan untuk bekerja sama adalah sikap yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia."
Data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menunjukkan capai serupa. Bahwa terjadi tren kenaikan tipis atas pendapatan sepanjang periode 2013-2022 untuk para operator telekomunikasi.
Capaian pendapatan bisnis para operator hanya sekitar 5,6%, lebih kecil dibandingkan dengan tren kenaikan Biaya Hak Penggunaan (BHP), sekitar 12,1%. Belum lagi jika menghitung lonjakan data seluler yang mencapai 80,7% pada rentang yang sama.
Menurut Merza Fachys, Wakil Ketua Umum ATSI pada bulan November, satu sisi pertumbuhan BHP yang tidak sejalan dengan rata-rata pendapatan, menjadi beban tersendiri buat operator. Pada bagian lain, konsumsi data seluler tidak berkontribusi langsung pada pendapatan operator.
Pendapatan rata-rata per pelanggan (Average Revenue Per User/ARPU) berdasarkan data masih berada di level rendah, sekitar Rp38.000/orang/bulan. Ini merupakan efek dari tren negatif harga layanan data per GB, sekitar -32%.
Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala berpandangan bahwa layanan OTT yang menumpang operator telekomunikasi sebagai penyedia jaringan bisa mengabaikan segala kedaulatan negara.
Kamilov mengkritik bahwa pemerintah selama ini tidak mengambil langkah serius dalam mengatasi timpangnya pendapatan antara industri seluler lokal dengan OTT asing.
“Bahkan Presiden [Joko Widodo] keluar negeri untuk bertemu bos OTT, kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas Menteri yang datang,” ucap Kamilov.
Baginya polemik tentang pentingnya regulasi OTT masih terus berlanjut hingga hari ini. Pasalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sampai saat ini masih belum membuat regulasi khusus atas layanan OTT.
Semakin berjalannya waktu, masyarakat semakin bergantung dengan OTT asing namun menimbulkan kerugian bagi operator lokal. Apa yang terjadi kini banyak masyarakat mengeluh atas lambatnya perkembangan akses internet di Indonesia, disebabkan oleh ketimpangan pendapatan yang terjadi antara OTT asing dan layanan operator dalam negeri.
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (DJPPI) Kementerian Komifo sejatinya telah mengakui ketidaksetaraan kue bisnis antara pelaku jasa OTT dengan operator seluler, seperti banyak disuarakan termasuk MASTEL.
"OTT belum memberikan benefit dan menjadikan revenue stream baru bagi penyelenggara selular bahkan cenderung mengambil porsi pendapatan operator selular sehingga berdampak pada kinerja operator selular yang menurun atau kalaupun ada peningkatan pendapatan tidak sebanding dengan peningkatan pasar," papar DJPPI Kominfo.
- Dengan asistensi Dovana Hasiana dan Muhammad Fikri.
(wep/roy)