“Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan [China] tersebut masih menggunakan batu bara untuk menopang operasi perusahaan dengan mendirikan PLTU [pembangkit listrik tenaga uap],” papar tim peneliti Celios dalam laporannya.
Megaproyek PLTU
Tercatat, setidaknya terdapat tiga proyek besar pembangunan PLTU dengan pendanaan dari perusahaan China di kawasan industri nikel.
Pertama, PLTU berkapasitas 3x380 MW di Morowali Industrial Park yang sudah dimulai sejak Desember 2021 dan merupakan kerja sama antara PT Bintang Delapan Indonesia yang juga merupakan pendiri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dengan Tsingshan Holding Group of China (induk ITSS).
Kedua, PLTU berkapasitas 4x380 MW yang dimulai sejak Februari 2022 di Pulau Obi, Maluku Utara. Proyek ini merupakan kerja sama antara Harita Group Indonesia dengan Ningbo Lygend China.
Ketiga, PLTU berkapasitas 380 MW di Maluku Utara yang sudah dibangun sejak Juli 2022, buah kolaborasi Weda Bay Industrial Park Indonesia (WBIPI) dengan tiga perusahaan asal China yaitu China Tsingshan Group, Huayou Group, dan Zhenshi Group.
Untuk menyikapi fenomena tersebut, pemerintah mengupayakan pengendalian produksi nickel pig iron (NPI) di dalam negeri. Terhitung ada sejumlah 33 smelter berteknologi pirometalurgi sudah beroperasi dan menghasilkan 115,45 juta metrik ton NPI.
Selain itu, tulis Celios, sebanyak 37 smelter sedang dalam proses pembangunan yang nantinya akan memproduksi 90,88 juta metrik ton. Ditambah lagi ada sebanyak 27 smelter yang direncanakan akan dibangun.
Proyek besar lainnya juga dibangun di beberapa titik industri seperti di Morowali, Sulawesi Tenggara, Konawe, dan Teluk Weda.
Proyek tersebut meliputi pembangunan 530 MW Delong Nickel Phase I dan 135 MW Delong Nickel Phase II di Virtue Dragon Nickel Industrial Park, pembangunan Pembangkit Listrik Teluk Weda berkapasitas 750 MW, serta Pembangkit Listrik Nikel Youshan dengan kapasitas 250 MW.
“Pembangunan berbagai PLTU tersebut menimbulkan masalah yang serius bagi keberlanjutan lingkungan dan ekosistem di lautan. Hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan aktivitas PT IMIP di Morowali telah menyebabkan pencemaran air laut hingga berubah warna menjadi hitam karena timbunan batu bara dalam jumlah besar yang terseret ke pembuangan air panas,” tulis laporan itu.
Saat terjadi hujan deras, cemaran berbahaya tersebut dikhawatirkan akan mengalir langsung ke laut. Hal serupa pasalnya terjadi di Desa Kurisa, Bahodopi.
“Kondisi ini menyebabkan warga yang bekerja sebagai nelayan harus menanggung akibatnya. Cemaran air laut mengganggu ekosistem ikan di kawasan tersebut sehingga menjadikan kian anjloknya hasil tangkapan ikan, terutama setelah IMIP beroperasi.”
Tidak hanya itu, ikan yang dibudidayakan di tambak kerap kali mati karena suhu air laut yang berubah menjadi panas karena pembuangan dari sistem pendinginan turbin PLTU tersebut.
PT IMIP sendiri telah bergantung pada tenaga batu bara untuk menopang operasi perusahaan untuk pemenuhan kebutuhan listriknya. Sementara itu, pembangunan tiga PLTU dengan kapasitas sangat besar, sekitar 1.180 MW, telah menyebabkan warga di Desa Fatufia terpapar debu batu bara yang bertebaran hingga ke rumah-rumah warga.
Di sisi lain, berdasarkan investigasi dari The Guardian, salah satu sumber air di dekat tambang nikel di Pulau Obi telah terkontaminasi dengan tingkat kromium heksavalen (Cr6) yang dapat menyebabkan kerusakan hati, gangguan reproduksi, dan masalah pertumbuhan apabila tertelan atau terhirup.
Klaim Turunkan Kemiskinan
Di tengah kontroversi IMIP, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengeklaim investasi di Kawasan Industri Morowali berhasil menurunkan angka kemiskinan, kendati tidak memungkiri isu lingkungan pertambangan nikel masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang belum tuntas.
Luhut, ditemui di sela Nickel Conference akhir Juli, mengatakan penghiliran industri pertambangan nikel telah menurunkan kemiskinan di daerah-daerah yang menjadi lokasi pabrik pengolahan komoditas mineral logam bahan baku baja nirkarat dan baterai kendaraan listrik itu.
Hal itu, klaimnya, setidaknya terjadi di dua provinsi produsen nikel. Pertama, di Sulawesi Tengah yang tingkat kemiskinannya turun menjadi 15% pada 2022 dari 20% pada 2007. Kedua, di Maluku Utara yang tingkat kemiskinannya turun di bawah 10% pada 2022 dari 10% pada 2007.
"Ini penduduk miskin di lokasi penghiliran industri [nikel] kita terus menurun. Anda lihat, orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan juga menurun," ujarnya.
Episentrum industri nikel di Pulau Sulawesi, lanjut Luhut, juga terbukti berhasil mengerek nilai ekspor nonmigas Indonesia dari hanya US$2,1 miliar pada 2014 menjadi US$11,6 pada 2020, sebelum naik lagi menjadi US$22,21 miliar pada 2021, dan menyentuh US$33,8 miliar pada tahun lalu.
"Fakta-fakta ini makin menunjukkan kebenaran kebijakan pemerintah kita saat ini," jelas dia.
Perhatian Pemerintah
Pun demikian, Luhut pun merespons kritik lembaga konsultan dan kelompok lingkungan global bahwa Kawasan Industri Morowali telah mencederai aspek lingkungan lantaran menggunakan listrik berbahan bakar batu bara dan merencanakan pembuangan limbah negara.
Dia tidak menampik bahwa keberlangsungan lingkungan di kawasan sentra nikel memang menjadi salah satu perhatian pemerintah hingga saat ini, dan perkembangannya terus dicermati agar tidak terjadi masalah lingkungan dalam pertambangan nikel.
"Kecemasan ini [masalah lingkungan] menjadi kecemasan kami juga. Informasi terus diberikan kepada kami untuk mencegah [kerusakan lingkungan]. Jadi seperti apa solusi yang bisa kami lakukan,” tuturnya.
Dia juga menjelaskan bahwa salah satu cara guna menjaga agar pertambangan nikel tidak merusak lingkungan, pemerintah bakal membatasi pasokan nikel agar tidak berlebihan.
Selain menjaga lingkungan, pembatasan ini juga menjadi cara pemerintah untuk menjaga harga nikel agar tidak terperosok. "Kritik dari berbagai pihak saya dengarkan, kita harus melakukan ini bersama. Bukan hanya pemerintah," ujar Luhut.
Sebelumnya, IMIP berjanji akan memacu investasi untuk mengatasi masalah lingkungan yang makin meningkat dari areal pertambangan nikel terbesar di Tanah Air itu.
Kawasan Industri Morowali mencakup areal seluas lebih dari 3.000 hektare di bagian timur Pulau Sulawesi. Wilayah ini merupakan basis produksi nikel baru yang digadang-gadang mendorong surplus pasokan di pasar global pada tahun ini. Namun, praktik pertambangan di kawasan itu menuai sorotan dari berbagai instansi internasional.
Direktur Pelaksana IMIP Hamid Mina, dalam kutipan wawancara dengan Bloomberg dilansir akhir Juli, menyebut perusahaan berencana menurunkan jejak karbon di kompleks Morowali melalui instalasi panel surya berkapasitas 500 megawatt.
Kawasan industri tersebut juga berencana menginvestasikan US$63 juta untuk tahap pertama pembangunan panel sebesar 100 megawatt, yang katanya akan mampu menghasilkan daya 180 juta kilowatt-jam per tahun. Itu setara dengan suplai listrik yang cukup untuk sekitar 166.000 orang Indonesia.
Kompleks ini juga memfasilitasi pembangunan pipa sepanjang sekitar 50 kilometer untuk memompa lumpur langsung dari tambang ke pabrik guna mengurangi penggunaan truk, kata Hamid. IMIP juga mempertimbangkan untuk memperkenalkan truk listrik di kawasan industri tersebut.
Chief Executive Officer Skarn Mark Fellows, bagaimanapun, mengatakan bahwa menerapkan energi terbarukan di Indonesia sangat ‘rumit’ karena sejumlah alasan seperti tutupan awan dan potensi angin yang rendah.
“[Selain itu,] emisi dari truk hanya menyumbang porsi yang sangat kecil dibandingkan dengan proses produksi nikel yang bergantung pada batu bara di tambang,” kata Fellows kepada Bloomberg.
Dalam hal pengelolaan limbah, IMIP saat ini memiliki hampir 600 hektare lahan yang dikhususkan untuk dry-stacking; suatu metode pengolahan tailing atau hasil sampingan pertambangan, dengan cara mengeringkan, memadatkan, dan menimbunnya kembali. Lebih banyak area dapat dialokasikan untuk itu jika rencana perluasan taman menjadi sekitar 6.000 hektare disetujui, kata Hamid.
Namun, implementasi dry-stacking cukup menantang di negara yang memiliki curah hujan tinggi dan aktivitas seismik reguler, menurut Harry Fisher dan Bruna Grossl dari Benchmark Mineral Intelligence.
Morowali, yang sebagian besar merupakan kota nelayan satu dekade yang lalu, merupakan jantung dari ledakan ekonomi Indonesia dan menjadi penting secara global dalam industri nikel setelah Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 2019.
Indonesia memiliki ambisi untuk mengurangi ketergantungannya pada ekspor sumber daya mineral dan berinvestasi lebih banyak pada fasilitas hilir yang bernilai lebih tinggi.
(wdh/roy)