Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun ini hingga level penutupan pekan lalu pada 22 Desember, mencatat kenaikan 5,64% year-to-date. Nilai kapitalisasi pasar IHSG juga naik signifikan dari Rp9.499,14 triliun pada akhir 2022, menjadi Rp11.054,45 triliun hingga akhir November 2023 atau tumbuh 16,37%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun lalu 15,2%.
Meski mencatat pertumbuhan positif, akan tetapi secara rata-rata pergerakan IHSG sepanjang 2023 ini masih lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Pada 2022, IHSG rata-rata bergerak di kisaran 6.959,19, sementara sepanjang tahun ini sampai level penutupan pekan lalu, indeks saham bergerak di rentang 6.851,71.
Mengacu pada data yang dilansir oleh Otoritas Jasa Keuangan, pada 2021 IHSG berhasil naik 10,08%, sementara pada 2022 hanya 4,09%, sementara pada 2023 hingga data akhir November, kenaikan indeks hanya 2,32%.
Perdagangan juga relatif lebih sepi dengan rata-rata volume perdagangan pada 2023 adalah 21,3 miliar saham, lebih kecil dari tahun lalu sebesar 25,6 miliar saham. Nilai transaksi rata-rata Rp10,51 triliun pada 2023, lebih kecil dibanding tahun sebelumnya Rp14,74 triliun, walaupun angka tahun ini sudah lebih tinggi dibandingkan tahun pandemi 2020 dan sebelum pandemi.
Secara sektoral, hanya lima sektor saham yang tahun ini berhasil tumbuh positif year-to-date hingga akhir November. Sektor saham infrastruktur mencatat kenaikan tertinggi hingga 63,4%, disusul oleh sektor konsumer non-siklikal yang naik 2,22% dan sektor finansial 1,45% juga sektor transportasi dan logistik yang tumbuh 1,66% disusul sektor properti dan real estate yang naik 0,21%.
Perdagangan saham yang cenderung lesu tahun ini sebagian besar karena susutnya animo investor asing yang sejauh ini menyumbang sedikitnya 30% dari nilai perdagangan. Tahun lalu, investor asing masih mencatat net buy Rp60,57 triliun, dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Sementara, tahun ini sampai data setelmen 21 Desember, asing masih mencatat posisi net sell senilai Rp11,61 triliun.
Obligasi
Tekanan sentimen suku bunga global sepanjang 2023 terlihat tidak cukup menyurutkan minat investor di pasar pendapatan tetap (fixed income market).
Indeks harga obligasi (INDOBex Total Return) mencatat kenaikan 7,06% sampai akhir November lalu ke level 369,14. Dua jenis obligasi yaitu Surat Utang Negara (SUN) dan obligasi korporasi sama-sama mencatat pertumbuhan positif di mana obligasi negara indeksnya tumbuh 7,1%, sedangkan obligasi korporasi naik 6,54%.
Namun, apabila melihat volume perdagangan obligasi baik obligasi pemerintah maupun korporasi swasta, terlihat ada penurunan tahun ini. Di mana pada 2023 hingga Oktober, volume perdagangan SUN tercatat 9,63 miliar, lebih rendah dibanding 2022 yang mencapai 12,2 miliar. Begitu juga untuk obligasi korporasi di mana volume trading turun jadi 447,45 juta dari tahun lalu 488,97 juta.
Sementara nilai outstanding SUN dan obligasi korporasi masing-masing naik 4% jadi Rp5.517,72 triliun dan naik 2,4% menjadi Rp456,15 triliun.
Reksa Dana
Kinerja produk investasi yang 10 tahun lalu masih menjadi primadona para investor pemula ini, terpuruk dan semakin lesu tahun ini. Nilai dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) reksa dana sampai akhir November 2023, menurut data OJK, tercatat di angka Rp495,68 triliun, turun 1,81% dibanding posisi akhir 2022.
Dana kelolaan reksa dana sempat menyentuh level tertinggi tahun ini pada Juli lalu di angka Rp516,66 triliun. Namun, setelah itu terus susut hingga berkurang sedikitnya Rp21 triliun kurang dari enam bulan terakhir.
Sementara melihat return reksa dana, reksa dana saham masih melanjutkan kinerja buruk tahun lalu di mana pertumbuhan sampai 22 Desember lalu masih negatif 6,42% year-to-date menurut data yang dilansir oleh Infovesta Utama. Jauh di bawah capaian indeks yang menjadi acuan IHSG yang pada periode yang sama tumbuh positif 6,05%.
Begitu juga kinerja reksa dana campuran di mana return-nya masih negatif 0,07% di tengah kinerja positif underlying-nya yakni saham dan obligasi.
Sementara reksa dana pendapatan tetap masih berjaya dengan mencetak return year-to-date 4,33%, melampaui pertumbuhan indeks obligasi korporasi di mana Infovesta Corporate Bond Index tumbuh 3,63% pada periode yang sama. Akan tetapi, capaian return reksa dana pendapatan tetap itu masih di bawah indeks obligasi pemerintah di mana Infovesta Government Bond Index naik 4,81% year-to-date hingga 22 Desember lalu.
Sementara itu, reksa dana pasar uang mencatat kinerja yang tidak terlalu mengesankan di mana Infovesta Money Market Fund Index hanya mencapai return 4,05% year-to-date ketika rata-rata bunga deposito bank 1 bulan sebesar 4,5% dan 12 bulan sudah 5,37% menurut data Bank Indonesia yang dirilis pekan lalu.
Emas
Emas memang bukan instrumen investasi pasar keuangan mengingat logam mulia ini tidak memberikan yield, melainkan hanya memberikan potensi untung/rugi dari naik turun harga saja. Sepanjang tahun ini, harga jual emas produksi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sudah naik 12,5%. Harga jual atau buyback price yang dipampang oleh Antam menjadi harga rujukan bila seorang investor emas menjual emas miliknya ke Antam.
Pada akhir 2022 lalu, harga pembelian kembali (buyback) oleh Antam ada di Rp920.000 per gram. Sementara pada 27 Desember ini, banderolnya sudah di Rp1,035 juta per gram.
Adapun harga beli Antam, yaitu harga acuan bila seseorang ingin membeli emas ke Antam, sudah mencetak kenaikan di kisaran yang sama sekitar 12% di mana pada 4 Desember lalu harganya menembus level tertinggi sepanjang sejarah di Rp1.145.000 per gram.
SBN Ritel
Sepanjang tahun ini ada tujuh seri Surat Berharga Negara (SBN) ritel yang diluncurkan oleh pemerintah dengan nilai emisi hampir Rp150 triliun.
Seri SBN ritel ini banyak diserbu oleh para pemodal, terutama pemodal pemula mengingat risikonya dianggap lebih kecil sementara cuan yang diberikan cukup memikat meski tidak terlalu tinggi.
Tingkat imbal hasil tertinggi yang diberikan oleh SBN ritel tidak ada yang melampaui 6,5%. Seperti yang terlihat untuk tawaran imbalan Sukuk Tabungan seri terakhir tahun ini ST011 yang memberikan 6,5% untuk tenor 5 tahun. Di tengah prospek penurunan bunga acuan domestik maupun global tahun depan, tingkat imbal hasil itu dinilai cukup menarik.
(rui/aji)