"Misalnya orang dapat bantuan itu harus dapat tanda tangan persetujuan dari RT, RW sampai lurah. Itu yang dari warga jadi warga enggak bisa nerima langsung. Pengalaman kemarin di Cianjur, itu kan warga menerima bantuannya udah terlambat, karena apa? Begitu bantuan sampai, hanya terpusat, sampai di posko-posko aja," kata Trubus saat dihubungi lewat sambungan telepon, Kamis malam (2/3/2023).
Padahal dengan kondisi negara rawan bencana maka perlu political will 'kemauan politik' yang kuat agar penanganan dan penyaluran bantuan bencana tersebut efektif. Sayangnya hingga saat ini persoalan penanganan bencana juga tak lepas dari distribusi yang lambat hingga tak tepat sasaran.
Sementara untuk mitigasi bencana sebaiknya aturan juga dibuat satu dan seragam namun lalu disesuaikan pada sering bencana atau tidak di daerah tersebut. Trubus menambahkan soal Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga sebaiknya direvisi. Di dalamnya bisa bisa diatur bahwa pemerintah daerah juga punya wewenang dalam hal kebencanaan namun harus ada saksinya.
"Jadi kalau ada daerah yang menahan-nahan, kemudian ada pejabat daerah ya pokoknya yang elite-elite itu yang menahan-nahan atau menyimpangkan bantuan supaya tidak tepat sasaran. Itu harusnya dikasih sanksi, itu yang lemah," lanjut dia.
Soal penyaluran bantuan kata dia juga perlu melibatkan warga lokal di daerah rawan bencana yang sudah paham dan bisa dengan cepat mendistribusikannya. Dia memberi contoh di Lumajang, penyalurannya dibantu warga yang sudah paham kondisi medan dan warga sehingga cepat dibagikan kepada para korban.
"Jadi ketika bantuan datang segera melibatkan Karang Taruna atau koperasi-koperasi, pokoknya ada orang-orang yang bertanggung jawab di lapangan," kata dia.
Dihubungi terpisah, pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Lisman Manurung mengatakan, birokrasi memang tidak bisa mengambil keputusan cepat sebagaimana yang bisa terjadi di sektor privat. Bantuan yang sudah tiba di lokasi bencana juga belum tentu bisa langsung dibagikan dan akhirnya menumpuk di kantor kelurahan.
Padahal kondisi bencana adalah situasi yang butuh penanganan cepat dan tidak bisa ditawar-tawar karena menimbulkan kerugian baik material maupun immaterial.
"Yang saya lihat kelemahan kita di situ, ini policy paper yang dibuat oleh mereka ini, kadang-kadang juga jadi semacam dokumen birokrasi. Enggak bisa gitu dong," kata Lisman kepada Bloomberg Technoz pada Jumat (3/3/2023).
Dalam hal aturan, Indonesia kata dia misalnya perlu belajar ke negara-negara yang penanganan bencananya baik seperti Jepang. Dengan belajar ke negara lain, legislatif bisa menyempurnakan undang undang dengan merevisi hal-hal yang membuat penanganan bencana tidak efektif selama ini.
"Mereka paling canggih dalam suatu penanganan bencana di dunia ini karena mereka tiap detik ada kemungkinan bencana. Kirim itu 100 orang di sana, sebulan gitu lihat di sana. Jepang ini kan, begitu ada pemberitahuan bencana langsung sigap itu mereka," kata dia.
Pengamat tersebut mengatakan dalam hal bencana pada prinsipnya penanganan harus dilakukan secepat mungkin. Dia menilai UU tentang Penanggulangan Bencana juga tentu perlu diperbaharui dari waktu ke waktu sehingga kontekstual dan selalu relevan.
(ezr)