"Ini tidak mengisyaratkan perpecahan dalam kohesi OPEC+ atau membahayakan pengurangan pasokan dalam jangka pendek,” kata Bob McNally, presiden konsultan Rapidan Energy Group dan mantan pejabat Gedung Putih. “Meskipun begitu, OPEC+ harus tetap bersatu dalam beberapa tahun mendatang.”
Ketiak OPEC+ mengalami kesulitan tahun ini, Riyadh telah memberikan lebih banyak tekanan pada anggota yang lebih kecil untuk membantu upayanya, seperti Angola.
Konflik yang terjadi antara negara ini dengan kepemimpinan OPEC muncul pada Juni, ketika kesepakatan yang memberikan target produksi lebih tinggi kepada Uni Emirat Arab memaksa Luanda untuk menerima pengurangan batas produksi pada 2024, yang menunjukkan kemampuan negara itu yang memudar.
"Peran kami di dalam organisasi tidak dianggap relevan," kata Menteri Sumber Daya Mineral Angola, Diamantino Azevedo, saat mengumumkan pengunduran diri negaranya dalam pertemuan kabinet pada Kamis. "Ini bukan keputusan yang mudah, waktunya sudah tiba."
Data Bloomberg menunjukkan bahwa produksi negara yang pernah menjadi produsen minyak terbesar di Afrika ini telah anjlok sekitar 40% selama delapan tahun terakhir menjadi sekitar 1,14 juta barel per hari karena negara tersebut gagal melakukan investasi yang memadai di ladang minyak lepas pantai yang menua. Akibatnya, produksi jauh di bawah target yang disepakati dengan negara-negara OPEC.
Meskipun cadangan minyak di Angola menarik perusahaan-perusahaan besar seperti BP Plc, Exxon Mobil Corp dan Chevron Corp, cadangan minyak di perairan dalam Angola telah menurun lebih cepat dibandingkan dengan cadangan minyak di daratan. Lingkungan pajaknya juga menghambat investasi, yang sangat terkena dampak ketika harga minyak mentah anjlok dari tahun 2014 hingga 2016.
Sengketa kuota ini meruncing bulan lalu, memaksa OPEC untuk menunda pertemuan tingkat menteri selama empat hari.
Angola dijanjikan peninjauan kembali oleh konsultan eksternal, tetapi hal ini menghasilkan hasil yang bahkan lebih buruk bagi negara tersebut. OPEC memberlakukan kuota yang lebih rendah lagi sebesar 1,1 juta barel per hari, di bawah produksi saat ini.
Tidak lama setelah pertemuan pada 30 November berakhir, perwakilan Angola untuk organisasi ini, Estevao Pedro, mengatakan kepada Bloomberg bahwa negara tersebut menolak kuota baru itu dan akan terus memompa sebanyak mungkin.
(bbn)