“Saya dulu di ICW (Indonesian Corruption Watch) kan bongkar-bongkar perampok bank dari manipulasi agunan,” ujar Teten.
“Kalau credit scoring lebih aman, credit scoring kan data transaksi yang mungkin tidak bisa dimanipulasi. Data transaksi paling tidak tinggal dari supplier, buyer, pajak, mau dimanipulasi? kan tinggal diliat 3 tahun ke belakang,” lanjutnya.
Penerapan credit scoring juga sudah dilakukan di 145 negara sehingga dinilai lebih efektif karena mengedepankan prospek bisnis dari UMKM dibandingkan kepemilikan aset.
Teten lagi-lagi menyalahkan perbankan yang tidak mau berbenah sehingga target KUR yang telah mengalami peningkatan tidak diiringi dengan peningkatan jumlah UMKM penerima KUR.
Paradoks Ekonomi Indonesia
Teten menyebutkan, terdapat paradoks ekonomi di Indonesia. Sebab, walaupun ekonomi di Indonesia didominasi oleh UMKM, pembiayaan perbankan justru lebih banyak ke korporasi.
“Ada paradoks ekonomi indonesia, di mana ekonomi Indonesia didominasi UMKM, 97% lapangan kerja disediakan oleh UMKM, tapi pembiayaan perbankan lebih banyak ke korporasi. Hanya 21% (pembiayaan ke UMKM). Jadi tidak ada yang menganggap ini suatu masalah, suatu paradoks,” ujar Teten.
Hal ini justru berbanding terbalik dengan negara-negara lain. Teten mencontohkan, lebih dari 80% kredit perbankan untuk UMKM di Korea Selatan, Jepang, India sudah di atas 60%. Kita baru 20%. Ini suatu paradoks,” lanjutnya.
Evaluasi KUR
Teten menyebutkan, pemerintah tengah mencari mekanisme atau skema penyaluran kredit untuk UMKM yang lebih sesuai, salah satunya credit scoring.
“Sudah banyak perusahan swasta, aplikasi yang bisa membantu perbankan melakukan skoring atau pemeringkatan. Jadi sudah banyak, saya sudah banyak ketemu dengan berbagai perusahaan yang mereka bilang sudah sangat tepat menggunakan itu karena kalau UMKM diharuskan agunan pasti sulit,” pungkas Teten.
(dov/ain)