Pun demikian, industri tembaga melihat prospek yang cukup cerah dari sisi konsumsi. Peluang permintaan dari sektor industri berteknologi tinggi – khususnya kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dan infrastruktur telekomunikasi – terbuka lebar.
“Ini menjadi trigger peningkatan permintaan tembaga. Selain itu, peluang untuk inovasi dalam daur ulang tembaga juga terbuka lebar [pada 2024].”
Kebijakan Fiskal
Peluang permintaan tersebut, bagaimanapun, masih dibayangi fluktuasi tren harga tembaga yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan fiskal di tingkat lokal maupun global.
Misalnya, kata Haykal, kebijakan fiskal untuk investasi dalam industri konstruksi atau kendaraan listrik yang bisa memengaruhi permintaan tembaga yang ujungnya adalah tekanan terhadap harga.
Harga tembaga diproyeksikan bergerak di rentang US$8.400—US$9.000-an per ton hingga kuartal I-2024. Pekan lalu, tembaga turun 1,9% menjadi US$8.448/ton di London Metal Exchange (LME), setelah penutupan pada level tertinggi dalam hampir empat bulan.
Dalam sepekan terakhir, harga tembaga turun 0,75% secara point to point (ptp). Namun, selama sebulan ke belakang, harga naik 3,09%.
Lebih lanjut, Haykal berpendapat sentimen global terhadap industri tembaga yang paling mengemuka saat ini adalah isu keberlanjutan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.
Dia pun menilai ramalan bahwa tidak akan ada tambang tembaga baru, sehingga membatasi jumlah pasokan yang menaikkan harga jika demand tetap tinggi, tidak selalu benar.
“Jika terjadi inovasi terhadap teknologi ekstraksi, maka jelas ada perubahan seiring dengan pandangan terhadap potensi tambang baru atau pengembangan teknologi ekstraksi yang lebih efisien dapat mempengaruhi sentimen global tersebut,” terangnya.
”Juga kebijakan lingkungan yang makin ketat dan permintaan metode produksi dengan menerapkan sustainability dapat berdampak positif pada harga tembaga, terutama jika industri bergerak menuju sumber daya yang lebih bersih dan ramah lingkungan.”
Permintaan China
Dihubungi secara terpisah, Direktur at PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaib mengatakan permintaan komoditas tembaga global pada 2024 dinilai masih cukup bertaji, sejalan dengan potensi pertumbuhan ekonomi China, sebagai salah satu negara importir terbesar global, serta tren investasi EV.
Potensi permintaan tembaga tersebut terlihat dari proyeksi Asian Development Bank (ADB) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi China mencapai 5% pada 2024.
"Kemudian, pertumbuhan ekonomi global juga [diprediksi] lebih kuat dibandingkan dengan 2023," ujarnya.
Sekadar catatan, berdasarkan data Administrasi Umum Bea Cukai China (GACC), impor bijih tembaga dan konsentrat China tercatat mencapai 2,44 juta metrik ton (mt) per November 2023, atau naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebanyak 2,41 juta mt.
Secara kumulatif atau selama 11 bulan pertama tahun ini, total impor tembaga Negeri Panda naik 8,4% dari tahun sebelumnya menjadi 25,07 juta mt.
Sementara itu, menurut Ibrahim, perdagangan komoditas tembaga juga terkerek oleh pelemahan dolar Amerika Serikat (AS) yang kemungkinan bakal memengaruhi permintaan terhadap perusahaan-perusahaan yang menggunakan tembaga sebagai bahan baku utama produknya.
Ibrahim juga tak menampik bahwa outlook pasar tembaga ke depan akan terus bertaji, meski dibayangi oleh proyeksi penurunan produksi akibat adanya penutupan tambang di Panama dan penurunan produksi oleh sejumlah penambang besar.
Penyebabnya, menurut dia, konflik perang dunia yang terjadi di Rusia-Ukraina dan juga Israel-Hamas belakangan ini bisa dibilang dapat menimbulkan berkah terhadap permintaan tembaga ke depan, dengan catatan jika ada perdamaian dalam waktu dekat.
"Ada dua peran besar itu, yang akan membutuhkan bahan dasar tembaga untuk pembangunan," ujar dia.
(wdh)