Kedua, lanjut Haykal, mulai 2024 hingga beberapa tahun setelahnya, pemantauan terhadap isu produksi dan pasokan tembaga dari tambang di Indonesia akan menjadi krusial bagi pasar komoditas internasional.
Penyebabnya, Indonesia akan mulai mengoperasikan smelter katoda tembaga dengan kapasitas kumulatif terbesar di tingkat global dari tiga perusahaan smelter kelas dunia. Walhasil, pasok produk turunan konsentrat dari Indonesia akan memengaruhi harga tembaga dunia.
“Keseluruhan produksinya diperkirakan bisa mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun. Kapasitas tersebut akan mendudukkan posisi Indonesia sebagai produsen katoda tembaga terbesar di dunia,” tuturnya.
Ketiga, Haykal menyebut pada tahun depan pemerintah juga selayaknya bersiap untuk mengatur tata niaga komoditas tembaga karena produksi katoda dari ketiga perusahaan smelter tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap tren permintaan di dalam negeri dan dunia.
“Pemerintah juga harus berhati-hati dalam melakukan perubahan regulasi dan kebijakan terkait dengan industri pertambangan [hulu] dan lingkungan yang dapat berdampak pada harga, suplai, dan permintaan komoditas ini,” ujar Haykal.
Sekadar catatan, salah satu proyek smelter katoda tembaga single aisle terbesar di dunia yang akan beroperasi pada 2024 adalah milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Manyar, Gresik.
Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan mulai medio tahun depan, seluruh produksi tembaga PTFI akan 100% dimurnikan di dalam negeri. Perusahaan memastikan tidak akan lagi menjual konsentrat; tetapi katoda, emas batangan, serta beberapa mineral bawaan lainnya.
Sepanjang 2023, produksi konsentrat tembaga PTFI diproyeksi menembus 1,6 miliar pon. Sampai dengan paruh pertama tahun berjalan, realisasi produksi telah mencapai 735 juta pon.
Dari total produksi konsentrat perusahaan, 40% diserap oleh PT Smelting untuk dimurnikan menjadi katoda. Adapun, kapasitas pengolahan smelter eksisting di Papua tersebut adalah 300.000 ton konsentrat per tahun.
Saat ini, Freeport sendiri memiliki satu proyek smelter baru di Manyar, Gresik dengan kapasitas pengolahan untuk sekitar 1,7 juta ton konsentrat menjadi kurang lebih 600.000 ton katoda tembaga per tahun. Fasilitas itu sekaligus diklaim sebagai pabrik katoda tembaga terbesar di dunia.
“Kalau smelter Manyar sudah jadi pada Mei 2024, 60% konsentrat yang tadinya diekspor akan sepenuhnya dimurnikan di Manyar, sehingga serapannya menjadi 100%. Kalau nanti smelter baru ini selesai dan memproduksi 600.000 ton katoda tembaga, ya harapan kami adalah pasar dalam negerinya juga tumbuh supaya bisa dijual di dalam negeri. Kalau enggak ada pasarnya, ya terpaksa [produk katodanya] harus diekspor,” ujar Tony kepada Bloomberg Technoz.
Sampai saat ini, Tony mengatakan baru ada 2—3 perusahaan di dalam negeri yang terhitung siap menyerap produksi katoda tembaga buatan Freeport. Untuk itu, perusahaan berharap pemerintah mendatangkan lebih banyak investasi industri pengguna produk hilir tembaga agar serapan katoda di pasar dalam negeri makin maksimal.
“Sebenarnya potensi market dalam negeri besar, tetapi kan tembaga juga masih boleh diimpor. Terus kemudian masih ada scrap tembaga juga. Padahal, kalau smelter Manyar sudah jadi, PTFI akan menjadi produsen katoda tembaga paling tidak terbesar kelima di dunia,” lanjutnya.
Belum lagi jika proyek smelter milik Amman Minerals Group juga rampung. Tony memperkirakan produksi katoda tembaga gabungan dari Freeport dan Amman akan membuat Indonesia sebagai negara produsen produk hilir tembaga terbesar ketiga di dunia.
“Untuk itu, kami berharap investasi industri pengguna katoda tembaga juga bertumbuh supaya bisa mengonsumsi tembaga dari kami. Kalau tidak, ya terpaksa harus kami ekspor,” ujarnya.
Sekadar catatan, pembangunan smelter Manyar diperkirakan menelan biaya US$3 miliar, termasuk US$2,8 miliar untuk kontrak konstruksi (tidak termasuk kapitasi bunga, biaya pemilik, dan commissioning), serta US$0,2 miliar untuk investasi di pabrik desalinisasi. Per Agustus 2023, progresnya diklaim telah mencapai 78%.
(wdh)