Houthi berupaya mengganggu pelayaran beberapa kapal tanker bahan bakar dan kapal kargo di Laut Merah, dengan alasan mendukung Hamas dalam perang melawan Israel. Mereka telah meningkatkan serangan dalam sepekan terakhir, mengguncang pasar pelayaran dan mendorong harga minyak. Pada akhir pekan, angkatan laut AS dan Inggris menembak jatuh 15 drone yang diluncurkan dari wilayah Yaman yang dikuasai Houthi.
Dilaporkan Bloomberg, AS sedang mempertimbangkan tindakan militer terhadap Houthi, meskipun masih lebih memilih solusi yang diplomatis. Pemerintah AS pada Senin mengumumkan pihaknya bekerja sama dengan para sekutu di negara-negara barat dan Arab untuk memperkuat perlindungan maritim guna mengamankan kapal-kapal yang berlayar di Laut Merah, yang membawa hampir 12% perdagangan global.
Lebih dari 100 kapal kontainer kini mengambil rute panjang yang mengelilingi Afrika untuk menghindari konflik. Menurut raksasa logistik Swiss Kuehne+Nagel International AG, hal ini menimbulkan biaya tambahan dan penundaan.
Pemimpin Houthi mengklaim serangannya "tidak merugikan navigasi internasional", akan tetapi bertujuan merugikan Israel. Mereka telah membajak satu kapal dan mencoba merebut kapal lain, sambil menembakkan rudal ke beberapa kapal lain. Pekan lalu, seorang komdan senior mengancam akan mulai menenggelamkan kapal-kapal.
Namun, perusahaan-perusahaan transportasi semakin khawatir bahwa kapal-kapal yang terkait dengan negara mana pun bisa menjadi sasaran. Pada Senin, raksasa minyak dan gas BP Plc mengumumkan akan menghentikan semua pengiriman melalui Laut Merah.
MSC Mediterranean Shipping Co, jalur kontainer terbesar di dunia, dan A.P. Moller-Maersk A/S melakuka tindakan serupa beberapa hari sebelumnya. Artinya, kapal-kapal mereka harus mengelilingi Afrika bagian selatan dan tidak melalui Terusan Suez. Hal ini menambah jarak tempuh perjalanan mereka sebanyak ribuan mil.
Menurut anggota tim yang sedang bernegosiasi dengan kelompok Yaman, Arab Saudi mendorong pendekatan terukur terhadap krisis ini untuk mencegah Houthi menjadi lebih agresif. Dia menambahkan, situasi ini dapat membahayakan gencatan senjata yang rapuh dalam perang Yaman, dan menggagalkan upaya Arab Saudi untuk mencapai gencatan senjata permanen.
Houthi telah berulang kali membuktikan kemampuannya untuk mengganggu atau merusak infrastruktur krusial di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Serangan paling menghancurkan yang mereka klaim terjadi pada tahun 2019, ketika dengan cepat menonaktifkan setengah dari produksi minyak Arab Saudi dengan serangan drone pada pabrik pengolahan minyak mentah.
Sejak gencatan senjata dengan Arab Saudi pada awal 2022, mereka sebagian besar menahan diri untuk tidak menembakkan drone dan misil ke negara-negara tetangganya.
AS menyalahkan Iran karena memungkinkan Houthi menyerang kapal, yang dibantah oleh Iran. Houthi telah menerima pendanaan dan pelatihan dari Tehran selama delapan tahun terakhir. Mereka merupakan bagian dari "poros perlawanan" negara tersebut terhadap AS dan Israel bersama dengan Hamas, Hizbullah yang berbasis di Lebanon, dan kelompok lainnya.
Kecuali AS membombardir situs peluncuran misil, radar, landasan udara, dan kapal Houthi, upaya mereka untuk mengatasi ancaman terhadap pengiriman tidak akan efektif, kata Riad Kahwaji, pendiri INEGMA, sebuah kelompok penelitian keamanan berbasis di Dubai.
"Jika hanya tentang mengawal kapal, itu akan memiliki efektivitas yang sangat terbatas, karena Anda perlu memiliki kapal perusak atau fregat yang menemani setiap kapal yang melaju ke arah mana pun," katanya.
(bbn)