Tekanan terhadap rupiah kemungkinan banyak dipengaruhi oleh reaksi pasar yang campur aduk seiring keluarnya data ekonomi AS yang menunjukkan optimisme bahwa ekonomi terbesar di dunia itu akan terhindar dari resesi.
Sementara di sisi lain, berbagai pernyataan dari pejabat Federal Reserve sejak awal pekan lalu silih berganti memaksa pasar untuk menghitung ulang ekspektasi mereka terhadap peluang penurunan bunga acuan alias pivot The Fed.
Indeks saham di Wall Street terjungkal semalam dengan Nasdaq 100 yang berisi saham-saham kakap sektor teknologi tergerus 1,5%, penurunan terbesar dalam delapan minggu terakhir. Disusul oleh amblesnya S&P 500 hingga 1,47% dan DJIA juga turun 1,3%. Pada saat yang sama, indeks dolar AS bergerak di zona hijau di 102,4, menguat 0,26%.
Sementara pasar Treasury, surat utang AS, masih semringah dengan melanjutkan reli di semua tenor. Yield UST-10Y yang menjadi benchmark bahkan kini berada di 3,84%, ditutup turun 8,4 basis poin. Sementara tenor pendek mencatat penurunan imbal hasil lebih besar hingga double digit di mana UST-2Y kini ada di 4,33% dan UST-3Y di 4,04%.
Data yang keluar semalam menunjukkan tingkat kepercayaan konsumen AS pada Desember mencatat kenaikan terbesar sejak awal 2021. Itu menjadi kenaikan dua bulan berturut-turut dan dibaca sebagai sinyal bahwa masyarakat Amerika tidak terlalu khawatir terhadap resesi meskipun para ekonom masih mewaspadai kondisi pasar tenaga kerja. Data penjualan rumah bekas di AS juga naik lebih tinggi pada bulan lalu dari level terendah 13 tahun. Indeks dolar AS bergerak di zona hijau di 102,4, menguat 0,26%.
Di sisi lain, pernyataan terbaru Presiden Fed Philadelphia Patrick Harker terlihat memberi angin bagi pasar Treasury, surat utang AS. Harker bilang, bank sentral harus mulai menurunkan bunga, meski tidak segera, dengan memberi dorongan lebih lembut pada ekspektasi pasar yang terlanjur tinggi terhadap penurunan bunga pada awal 2024.
(rui)