Logo Bloomberg Technoz

Sepertinya laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) jadi sentimen negatif bagi harga batu bara. Permintaan batu bara diperkirakan terus melambat hingga 2026 setelah tahun ini mencapai rekor tertinggi.

Pada 2023, permintaan baru bara naik 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 8,5 miliar ton. Permintaan didorong oleh India yang tumbuh 8% dan China yang naik 5%.

Namun, permintaan batu bara diperkirakan turun 2,3% pada 2026 dibandingkan dengan tahun ini. Penurunan ini disebabkan makin maraknya ekspansi energi terbarukan dalam 3 tahun ke depan.

Lebih dari separuh kapasitas ekspansi energi terbarukan terjadi di China. Akibatnya, permintaan batu bara China (konsumen terbesar di dunia) akan turun drastis mulai tahun depan.

“Kita sudah menyaksikan beberapa kali penurunan permintaan batu bara karena sesuatu yang luar biasa, seperti keruntuhan Uni Soviet atau pandemi Covid-19. Akan tetapi, kali ini berbeda. Penurunan kali ini akan lebih bersifat struktural karena kuatnya ekspansi teknologi energi terbarukan,” sebut Keisuke Sadamori, Direktur Pasar dan Ketahanan Energi IEA.

Analisis Teknikal

Secara teknikal dengan perspektif harian (daily time frame), batu bara sejatinya masih bullish. Terlihat dari Relative Strength Index (RSI) yang sebesar 67,56. RSI di atas 50 menandakan suatu aset sedang dalam posisi bullish.

Sementara indikator Stochastic RSI ada di 68,8. Masih relatif jauh dari 80, yang berarti belum jenuh beli (overbought).

Ini membuat harga batu bara berpeluang bangkit. Target resisten terdekat ada di US$ 148/ton, yang jika tertembus maka harga bisa naik lagi menuju US$ 151/ton.

Sedangkan target support terdekat adalah US$ 140/ton. Penembusan di titik ini bisa membuat harga batu bara turun lagi ke US$ 132/ton.

(aji)

No more pages