"Tren penurunan TFR adalah fenomena global yang terjadi hampir di semua negara. Artinya, seiring bertambahnya waktu, semakin sedikit anak yang dilahirkan oleh perempuan semasa hidupnya," demikian dilansir dari laporan BPS yang ditulis oleh Yuniarti dan Satria B. Panuntun.
Tren penurunan TFR juga mengindikasikan semakin banyak perempuan yang menunda memiliki anak dan bahkan sebagian di antaranya memilih childfree.
Ada tren kenaikan childfree dalam empat tahun terakhir. Walau prevalensinya sedikit tertekan di awal pandemi lalu, akan tetapi persentasenya kembali naik di tahun-tahun berikutnya, menurut BPS.
"Kebijakan work from home nampaknya cukup mempengaruhi keputusan seseorang untuk memiliki anak. Namun, dengan tren kenaikan yang ada, fenomena childfree memang berkontribusi signifikan terhadap penurunan TFR di Indonesia," jelas BPS lebih jauh.
Mereka memilih 'childfree'
Hasil survei yang sama memperlihatkan, perempuan. yang mengejar pendidikan lebih tinggi lebih sering menunda bahkan tidak berkeinginan memiliki anak, khususnya mereka yang menempuh pendidikan S2 atau S3. Ini menunjukkan asosiasi kuat antara level pendidikan tinggi dengan paradigma baru kepemilikan anak, menurut BPS.
Namun, persentase perempuan childfree dengan pendidikan SMA ke bawah justru lebih tinggi. Ini diduga karena level pendidikan mempengaruhi kesempatan kerja yang akan menentukan pula status perekonomian seseorang. "Jadi, keputusan childfree di Indonesia sepertinya tidak hanya dipengaruhi oleh membaiknya level pendidikan, tapi juga dilatari kesulitan ekonomi," jelas BPS.
Dugaan itu diperkuat dengan temuan data SUSENAS 2022 di mana sebanyak 57% perempuan childfree ternyata tidak terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi. Jadi, faktor ekonomi memang tidak dipungkiri sebagai salah satu penentu keputusan hidup tanpa anak.
"Perempuan yang menjalani childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Akan tetapi, gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi," kata riset tersebut.
Sementara mengacu pada wilayah, sejauh ini Pulau Jawa adalah pusat berkembangnya paradigma childfree di Indonesia. "Tahun 2022, persentase perempuan yang tidak ingin memiliki anak di Pulau Jawa hampir mencapai 9%, sebagian besar di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten yang banyak hidup di perkotaan," jelas BPS.
Hantaman ekonomi akibat pecah pandemi Covid-19 juga mempengaruhi keputusan childfree di banyak perempuan, terutama di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Menurut para peneliti, dalam jangka pendek, fenomena childfree memang dapat meringankan anggaran pemerintah karena subsidi pendidikan dan kesehatan untuk anak jadi ikut berkurang. Namun, dalam jangka panjang, kesejahteraan perempuan childfree di usia tua akan berpotensi menjadi tanggung jawab negara.
"Dalam jangka panjang, perempuan childfree ini akan menua tanpa keluarga. Pertanyaannya, apakah pemerintah cukup siap memberikan jaminan sosial yang komprehensif untuk mereka?" demikian ditulis dalam riset.
Sebagai catatan, jumlah penduduk Indonesia hingga pertengahan tahun ini mencapai 278,69 juta jiwa, menurut data yang dirilis oleh BPS pada Juni lalu.
Jumlah populasi itu mencerminkan laju pertumbuhan sebesar 1,13%. Itu menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak 2015 berdasarkan data resmi dari BPS. Sebagai perbandingan, laju pertumbuhan penduduk di Indonesia pada 2022 tercatat 1,17%, melambat dari tahun sebelumnya sebesar 1,22%.
Dalam 22 tahun ke depan, Indonesia hanya akan memiliki populasi 324 juta penduduk, menempatkan RI di belakang Nigeria dan Pakistan dari sisi jumlah penduduk.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin beberapa waktu lalu memberi pernyataan, bahwa sebaiknya generasi muda tidak menunda pernikahan agar pertumbuhan penduduk usia produktif tidak kian mengecil. Pernyataan itu keluar merespons data Bappenas soal angka kelahiran total yang menunjukkan tren perlambatan.
Fenomena Global
Dunia saat ini terindikasi menghadapi defisit kelahiran di mana jumlah penduduk terus menyusut. Meski penyusutan populasi di satu sisi mungkin baik bagi kelestarian lingkungan, demografi yang semakin menua melahirkan tantangan serius bagi perekonomian dan kesejahteraan.
Asia mencatat penurunan angka kelahiran yang paling ekstrem. Jepang misalnya, mencatat penurunan populasi sebesar 800.000 orang menjadi 122,4 juta orang tahun lalu. Penurunan di angka itu adalah pertama kalinya sejak sensus dimulai pada 1899 lalu.
Penurunan populasi Jepang sudah berlangsung selama 14 tahun terakhir. Upaya pemerintah Jepang mendorong kelahiran dengan menjanjikan insentif sedikitnya 3,5 triliun yen, belum menghasilkan kemajuan berarti.
Jepang tidak sendiri. Negeri raksasa China juga tengah menghadapi ancaman serupa. Jumlah penduduk China berkurang untuk pertama kali sejak 1961 di mana pada 2022 mencapai 1,41 miliar jiwa, berkurang 850.000 jiwa dibanding akhir 2021.
Korea Selatan juga serupa. Negeri Ginseng ini mencatat tingkat kelahiran terendah di dunia yaitu 0,78 anak per perempuan tahun 2023 berdasarkan data yang dirilis Februari lalu. Angka itu terendah di antara 260 negara di dunia yang dilacak oleh World Bank.
Amerika Serikat juga menghadapi fenomena serupa di mana pada 2022 terdapat 3,7 juta bayi lahir, turun 3.000 dibanding tahun sebelumnya. Tren penurunan kelahiran di Negeri Paman Sam sudah berlangsung lebih dari satu dekade.
(rui/aji)