Sementara bank sentral Uni Eropa (ECB) menaikkan suku bunga acuan sampai 6 kali. Total kenaikan sepanjang tahun ini mencapai 200 bps dan pada akhir tahun berada di 4,5%.
Fenomena El Nino dan perang di Jalur Gaza membuat harga pangan dan energi melonjak. Akibatnya, inflasi masih terus ‘membandel’ dan berada di level tinggi sehingga bank sentral memilih untuk terus mengerek suku bunga acuan.
Akibatnya, mata uang negara-negara berkembang mengalami tren pelemahan. Dolar AS terlalu perkasa, ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan.
Pada Oktober, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) sempat menyentuh 107. Sesuatu yang belum pernah terjadi sejak 2007.
Keperkasaan dolar AS membuat mata uang negara-negara berkembang melemah, termasuk rupiah. Sepanjang tahun ini hingga kemarin (year-to-date/ytd), rupiah melemah 0,45% di hadapan dolar AS.
Bahkan rupiah sempat hampir menembus level Rp 16.000/US$ pada Oktober lalu. Ini adalah yang terlemah sejak 2020, kala pandemi Covid-19 mengganas.
Perkembangan ini yang kemudian membuat BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan pada Oktober.
“Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024,” ungkap Perry dalam konferensi pers usai RDG edisi Oktober.
Arah Suku Bunga
Ke depan, bagaimana arah suku bunga acuan? Apakah BI 7 Day Reverse Repo Rate bisa turun atau malah bakal naik lagi?
Dalam Pertemuan Tahunan BI (PTBI) akhir bulan lalu, Gubernur Perry memberi ‘bocoran’ soal arah kebijakan suku bunga ke depan. Sepertinya BI 7 Day Reverse Repo Rate masih akan bertahan di level tinggi demi memastikan terjangkarnya inflasi.
"Untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam target 1,5-3,5% pada 2024-2025, BI Rate akan dipertahankan, dan respons selanjutnya akan disesuaikan dengan dinamika global dan domestik," kata Perry kala itu.
Dengan latar belakang global yang masih menantang, kebijakan moneter BI tahun depan tetap akan lebih berat bobotnya untuk menjaga stabilitas (pro-stability). Menahan bunga acuan di level tinggi 6% dalam waktu cukup lama untuk memastikan inflasi terkendali pada 2024-2025.
"Selain itu, strategi operasi moneter pro-market untuk efektivitas transmisi kebijakan, pendalaman pasar uang dan pengelolaan portofolio asing," lanjut Perry, di mana itu ditempuh melalui penerbitan tiga sekuritas baru yaitu Sekuritas Rupiah (SRBI), Sertifikat Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SUVBI).
Oleh karena itu, setidaknya dalam waktu dekat, ruang penurunan suku bunga acuan relatif kecil. Namun minimal kemungkinan untuk naik lagi pun tidak besar.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, memandang kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate pada Oktober dilatarbelakangi oleh situasi yang sangat genting. Kala itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun menyentuh 5%, Dollar Index di 107, dan harga minyak jenis Brent mencapai US$ 92/barel.
Saat ini situasinya sudah jauh berbeda. Rupiah memang masih melemah, tetapi yield US Treasury Bonds 10 tahun sudah di bawah 4%, Dollar Index di kisaran 102, dan harga Brent tidak sampai US$ 80/barel.
“Oleh karena itu, kenaikan suku bunga acuan tidak akan efektif dalam meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Kami memandang depresiasi rupiah lebih disebabkan fenomena sesaat karena ketidakcocokan antara kebutuhan dan pasokan valas,” sebut Satria dalam risetnya.
(aji)