Sementara dalam salinan putusan yang diterima, disebutkan bahwa penggugat adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Agus Priyono dan Sekjen Dewan Pimpinan Pusat PRIMA Dominggus Oktavianus Tobu Kiik.
Mereka menggugat KPU dalam hal ini KPU yang diketuai oleh Hasyim Asy'ari. Adapun surat gugatan didaftarkan pada 8 Desember 2022.
Kami banding
Hasyim Asy'ari
Poin-poin putusan dalam pokok perkaranya adalah :
1. Menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya
2. Menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat
3. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
4. Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500.000.000 kepada penggugat
5. Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2(dua) tahun dan 4 (empat) bukan 7 (tujuh) hari
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp 410.000 (empat ratus sepuluh ribu rupiah).
Hal ini diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat pada Rabu (1/3/2023) dan dibacakan pada Kamis (2/3/2023) dalam sidang terbuka. Majelis Hakim terdiri dari Hakim Ketua T. Oyong dan hakim anggota yaitu H. Bakrie dan Dominggus Silaban dengan panitera pengganti yakni Bobi Iskandardinata.
Dihubungi soal putusan ini, KPU menyatakan akan melakukan banding.
"Kami banding," kata Ketua KPU Hasim Asy'ari lewat pesan elektronik, Kamis malam (2/3/2023).
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD langsung merespons soal putusan ini. Melalui akun Instagram resminya, Mahfud menyebutkan PN Jakpus sedang mencari sensasi.
"Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yg berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dlm perkara perdata oleh PN. Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yg bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," dituliskan dalam akun @mohmahfudmd.
Dia mengatakan mengajak KPU untuk melakukan banding sebagai bentuk perlawanan dalam koridor hukum. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, PN tak punya wewenang untuk memutuskan vonis itu. Alasan hukumnya dia beberkan yakni:
1. Sengketa terkait proses, administrasi dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di PN. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN
Partai Prima diketahui sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK)
2. Hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik bukan untuk seluruh Indonesia
Misalnya, di daerah yg sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu
3. Vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU
4. Penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali
(ezr)