Sejauh ini, rupiah sudah terperosok menjadi mata uang Asia dengan kinerja paling lemah selama kuartal akhir 2023. Berkebalikan dengan situasi di awal-awal tahun ini, ketika rupiah sempat keluar sebagai mata uang Asia dengan kinerja paling baik.
Sepanjang tahun ini, bila diukur dari level penutupan akhir 2022, rupiah hanya mencatat return 0,26% ketika dolar AS tercatat melemah 1,62%. Bahkan bila menghitung level terlemah tahun ini pada akhir Oktober lalu, rupiah kehilangan 2,4% nilai.
Sementara mata uang emerging market lain justru menguat lebih meyakinkan terindikasi dengan Indeks MSCI Currency Index yang mencetak kenaikan 3,8% year-to-date.
Sejak Oktober lalu, para pemodal asing sudah menarik sedikitnya US$600 juta dari pasar saham tahun ini. Tekanan jual asing di pasar saham itu masih diimbangi oleh aksi beli bersih asing di pasar obligasi dengan nilai US$900 juta.
Sementara bila dihitung sejak awal tahun hingga data setelmen 14 Desember, pemodal asing mencetak posisi jual bersih Rp17,56 triliun, sedang di pasar Surat Berharga Negara asing masih mencetak posisi beli neto Rp76,66 triliun dan beli neto Rp45,35 triliun di instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia.
Peringkat obligasi buruk
Prospek arus masuk modal asing ke Indonesia bukan cuma tertahan ketidakpastian politik seputar Pemilu dan Pilpres 2024. Peringkat surat utang negara yang rendah juga akan membuat daya tarik investasi Indonesia di mata pemodal asing jadi kurang menarik.
Peringkat surat utang negara Indonesia bersama Malaysia dan Korea Selatan berada di ranking bawah di antara 15 negara berkembang berdasarkan skor kartu Bloomberg, yang disusun berdasarkan enam metrik.
Buruknya peringkat obligasi negara di emerging market Asia adalah karena tingkat imbal hasil yang rendah antara return dan imbal hasil riil dibandingkan rata-rata lima tahun, selisih imbal hasil yang kurang menarik dibanding Treasury, surat utang AS, serta terbatasnya ruang bagi bank sentral untuk menurunkan bunga acuan. Kartu skor juga memperhitungkan bunga acuan sesuai inflasi dan potensi tekanan harga yang melampaui ekspektasi.
Obligasi di negara-negara Asia kehilangan daya tarik pada saat yang sangat krusial: di mana prospek 'terminal rate' The Fed akan mendorong investor banyak berburu aset di pasar negara berkembang.
"Kami tidak melihat nilai yang menarik di kelompok obligasi berdenominasi mata uang Asia saat ini seiring dengan nilai 'carry' yang perlu lebih tinggi. Saat ini obligasi Brazil, Meksiko dan Kolombia terlihat lebih menarik," jelas Shamaila Khan, Head of Emerging Markets and Asia Pacific di UBS Asset Management New York, seperti dilansir Bloomberg News, pekan lalu.
Obligasi negara berkembang Asia mencatat return 2,2% tahun ini, ketika secara keseluruhan pasar obligasi negara berkembang mencetak return 3,7% disokong terutama oleh reli obligasi Amerika Latin, seperti terlihat dari indeks yang disusun Bloomberg.
Kelanjutan kebijakan
Pemilu dan Pilpres 2024 akan cukup menentukan prospek rupiah sepanjang tahun mengingat para pelaku pasar akan melihat apakah pemerintahan baru yang terpilih nanti akan melanjutkan beberapa kebijakan penting di era Presiden Joko Widodo atau tidak.
Kebijakan yang dimaksud di antaranya seperti hilirisasi komoditas yang dinilai telah membantu penerimaan ekspor dan menurunkan defisit transaksi berjalan sehingga bisa memberi sokongan pada rupiah.
Sejauh ini, dua calon presiden yang memimpin hasil survei yaitu Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo terlihat memposisikan diri sebagai penerus kebijakan Jokowi. Sebaliknya, calon presiden Anies Baswedan telah menyatakan ketegasan akan mundur dari beberapa kebijakan Jokowi seperti pembangunan Ibukota Negara (IKN).
Bila dalam gelar Pilpres di Februari 2024 tidak ada kandidat yang menang lebih dari 50%, maka pilpres akan hadapi putaran kedua pada Juni 2024.
"Risiko utama ada pada jeda yang lebih panjang antara pemilu dengan pembentukan pemerintahan baru di mana itu akan mengekspos rupiah dalam ketidakpastian arah kebijakan," kata Aninda Mitra, Head of Asia Macro and Investment Strategy di BNY Mellon.
(rui/roy)