Seperti yang diwartakan Bloomberg News, Gubernur The Fed New York, John Williams mengatakan masih terlalu dini bagi para pejabat untuk mulai berpikir tentang menurunkan biaya pinjaman, karena mereka mempertimbangkan apakah kebijakan tersebut cukup membatasi pengembalian inflasi ke 2%.
“Kami tidak benar-benar membicarakan penurunan suku bunga,” kata Williams di CNBC.
Secara terpisah, Gubernur The Fed Atlanta Raphael Bostic, yang memberikan suara mengenai kebijakan moneter tahun depan, mengatakan kepada Reuters bahwa ia memperkirakan dua kali penurunan suku bunga pada 2024, tetapi baru akan dimulai pada kuartal ketiga.
Hal senada juga diutarakan oleh Gubernur The Fed Chicago Austan Goolsbee, yang mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk menyatakan kemenangan atas inflasi. Keputusan mengenai pemotongan suku bunga juga akan didasarkan pada data ekonomi yang masuk, dan data-data terbaru.
"Kita telah membuat banyak kemajuan pada tahun 2023, tetapi saya masih mengingatkan semua orang, ini belum selesai," ujar Goolsbee pada hari Minggu dalam wawancara di acara Face the Nation di CBS. "Jadi data akan menentukan apa yang akan terjadi terhadap suku bunga."
Kita harus bisa menurunkan inflasi ke target," katanya pada hari Minggu.
"Sampai kita yakin bahwa kita berada di jalur menuju itu, jangan buru-buru menyimpulkan,” tambahnya.
Diketahui, The Fed pada pekan kemarin memberikan isyarat untuk mengembalikan arah tren kenaikan suku bunga yang paling curam dalam satu generasi, dan para pejabat memperkirakan serangkaian penurunan suku bunga pada tahun depan. Williams mencatat bahwa proyeksi suku bunga triwulanan pejabat The Fed menunjukkan jalur pelonggaran yang lebih bertahap dibandingkan ekspektasi pasar.
“Masih terlalu dini untuk memikirkan pertanyaan itu. Bukan itu persoalan yang ada di hadapan kita,” kata Williams.
Williams mengatakan bahwa pasar bereaksi sangat kuat, mungkin lebih kuat, daripada apa yang kami tunjukkan dalam proyeksi kami.
Dampak dari komentar tersebut, para swaps traders memangkas taruhan mereka pada penurunan pada tahun 2024 menjadi hanya <5 dari sebelumnya ada di angka 6 di sebelum wawancara, menurut data yang dikumpulkan Bloomberg.
Tim Research Phillip Sekuritas Indonesia memaparkan, setelah kampanye pengetatan kebijakan moneter yang panjang, sejumlah Bank Sentral utama di dunia saat ini cenderung mempertahankan suku bunga acuan meskipun pelaku pasar berspekulasi mengenai pemangkasan suku bunga yang agresif di bulan-bulan mendatang.
“Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) mempertahankan suku bunga acuan Main Refinancing Operation Rate di level tertinggi dalam 22 tahun 4,5% dan Deposit Rate di 4,0%,” mengutip riset harian Tim Research Phillip Sekuritas.
Adapun langkah Bank Sentral Eropa selanjutnya adalah masuk ke tahap pengguntingan suku bunga acuan. Namun, menurut anggota Dewan Pemerintahan Francois Villeroy de Galhau, hal itu akan dilakukan secara perlahan dan dipandu oleh data terbaru di pasar.
"Kecuali ada guncangan atau kejutan, kenaikan suku bunga telah berakhir–tetapi itu tidak berarti penurunan suku bunga yang cepat," ujar Villeroy pada Jumat dalam sebuah wawancara di radio Ecorama.
"Kami tidak dipandu oleh kalender, kami dipandu oleh data,” jelasnya.
Sebagai sentimen lanjutan, pekan ini, Reserve Bank of Australia akan merilis notulennya dari pertemuan kebijakan Desember dan Bank Indonesia (BI) akan membuat keputusan kebijakan terakhirnya di tahun ini.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional Indonesia periode November. Seperti dugaan sebelumnya, ekspor mengalami kontraksi (Pertumbuhan Negatif). Sementara nilai impor Indonesia tumbuh positif.
BPS memaparkan, nilai ekspor Indonesia pada November adalah US$22 miliar. Turun 8,56% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Sementara secara bulanan, ekspor turun 0,67%.
Kemudian, nilai impor RI pada November sebesar US$19,59 miliar. Naik 3,29% yoy. Secara bulanan impor juga naik 4,89%. Dengan pencapaian tersebut, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$2,41 miliar.
Dengan demikian, ini menjadikan pencapaian surplus selama 43 bulan berturut-turut. Adapun terakhir kalinya Indonesia mengalami defisit neraca dagang adalah pada April 2020 silam.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana memaparkan, IHSG menguat 0,2% ke 7.190 dan masih didominasi oleh volume pembelian.
“Penguatan IHSG pun sanggup untuk menembus area resistance di 7.201, dengan demikian pergerakan IHSG saat ini sedang berada di wave (v) dari wave [i]. Hal tersebut berarti, IHSG berpeluang untuk melanjutkan penguatannya ke rentang area 7.237-7.262,” papar Herditya dalam risetnya pada Senin (18/12/2023).
Bersamaan dengan risetnya, Herditya merekomendasikan saham-saham BBRI, ERAA, GJTL dan TLKM.
Kemudian, Analis Phintraco Sekuritas memaparkan, IHSG bisa lanjut menguat dan akan kembali uji resistance 7.200 namun tetap waspada terhadap potensi pullback nantinya.
“Pelaku pasar nampaknya juga berspekulasi terhadap potensi clue mengenai peluang pemangkasan suku bunga acuan BI di tahun 2024. IHSG diperkirakan masih melanjutka Bullish trend, meski potensi normal pullback tetap perlu diwaspadai,” tulisnya.
Melihat hal tersebut, Phintraco merekomendasikan saham BBCA, BUMI, MDKA, KLBF, AUTO, BTPS, dan MNCN.
(fad)