Menurut Rachmat, pemerintah tentu ingin meningkatkan TKDN, namun hal itu baru bisa tercapai bila industri mobil listrik di Indonesia sudah berkembang.
Sehingga Perpres 79/2023 dilihat sebagai upaya pemerintah untuk memberikan jeda waktu agar perusahaan bisa membangun industri mobil listrik di indonesia. Dengan demikian, pada akhirnya harga mobil listrik di Indonesia menjadi lebih terjangkau atau mencapai titik keseimbangan.
“Historically kalau kita lihat di berbagai negara, titik poin terjadi pada saat 5-10% penjualan baru itu EV. Saat ini mobil listrik masih 2%, motor listrik 1-2%, jadi kita masih punya waktu untuk berkembang,” ujar Rachmat.
Namun, pemerintah memberikan syarat dari insentif bebas PPN, yakni perusahaan mobil listrik wajib melakukan produksi di Indonesia setara dengan jumlah mobil listrik CBU yang diimpor.
“Jadi mungkin gamblangnya, sampai akhir 2025 mereka boleh impor CBU, misalnya impor 1,000 unit, sampai 2027 pabriknya jalan mereka harus memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan produksi 1.000 juga,” ujarnya.
Perusahaan mobil listrik juga harus mengembalikan insentif fiskal yang telah diberikan bila tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Bila industri mobil listrik di Indonesia telah berkembang, pemerintah juga secara bertahap akan membangun infrastruktur dari mobil listrik di Indonesia. Sebab, pembangunan infrastruktur tergolong lebih mudah karena pasokan listrik di Indonesia dinilai berlimpah.
“Saat ini infrastruktur agak tunggu-tungguan, mau bikin charger dulu atau mau bikin produknya dulu. Kalau kami melihat pengalaman waktu di G20 bikin infrastruktur karena listrik banyak di Jawa berlimpah, bisa relatif lebih cepat,” ujarnya.
“Jadi bottleneck bikin pabrik, dengan Perpres 79/2023 kita berharap bottleneck bakal di-resolve jadi infrastruktur akan dilihat bagaimana caranya kita bisa speed up baik infrastruktur charging station, bagaimana juga standarisasi baterai dan lain-lain,” pungkasnya.
(dov/ain)