Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah industri batu bara mulai memasuki periode senjakala atau sunset, meski tengah ‘dimusuhi’ banyak negara sejalan dengan agenda emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada 2060.

Plt Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Muhammad Wafid menegaskan cadangan batu bara sangat melimpah di Tanah Air, sehingga tidak mungkin ditinggalkan begitu saja hanya gegara proyek energi baru terbarukan (EBT) kian masif.

Alih-alih, pemerintah mengupayakan agar industri batu bara tidak bertabrakan dengan komitmen transisi energi.

"Sumber daya dan cadangan batu bara Indonesia saat ini masih cukup banyak dengan total sumber daya 98,5 miliar ton dan cadangan sebesar 33,8 miliar ton," ujarnya melalui siaran pers kementerian, Kamis (14/12/2023).

Dia pun menyebut asumsi bahwa batu bara adalah industri sunset merupakan "kekeliruan", lantaran batu bara sebenarnya masih dibutuhkan dalam upaya dunia mencapai NZE. Batu bara dapat dihilirkan untuk menghasilkan sumber energi yang rendah emisi.

Batu bara milik PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. (Dok Dadang Tri/Bloomberg)

Untuk itu, lanjutnya, pemerintah melalui Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP) tengah menggali potensi lain batu bara dengan menginventarisasi batu bara metalurgi atau coking coal (kokas) di Indonesia yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.

"Sebelumnya batu bara Indonesia dijual sebagai batu bara termal saja, padahal untuk beberapa jenis batu bara tertentu memiliki karakteristik sebagai batu bara metalurgi yang berguna dalam industri baja dan smelter pengolahan mineral, sehingga harga jualnya jauh lebih tinggi daripada batu bara termal," bebernya.

Dia menambahkan pemerintah juga mengembangkan ekstraksi material maju dan asam humat dari batu bara, serta mengevaluasi gambut sebagai penangkap karbon sehingga Indonesia bisa berperan aktif dalam perdagangan karbon dunia.

Cadangan Masih 6 Abad

Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia/Indonesian Mining Association (IMA) Rahmat Makkasau tidak menampik penghiliran batu bara adalah yang tersulit di antara sektor pertambangan lainnya, padahal pasok si batu hitam di Indonesia diklaim masih cukup untuk 6 abad ke depan. 

“Ini sebenarnya tantangan buat Indonesia, bagaimana kita bisa membawa investor masuk untuk fokus pada proyek-proyek clean coal. Bagaimana kita membuat pembangkit ini bisa mengolah, memakai batu bara, tetapi bersih tanpa mengeluarkan karbon atau karbonnya ditangkap, sulfurnya ditangkap,” kata Rahmat, belum lama ini.

Salah satu tantangan terbesar batu bara adalah belum berkembangnya sistem yang dapat memerangkap emisi karbon dan sulfur dari pembakaran batu bara, sehingga komoditas tersebut selalu dianggap kotor.

“Kita mesti ingat, cadangan batu bara itu masih sekitar 30-an miliar ton. Kita ekspor rata-rata 600 juta ton setahun. Dengan diekspor saja, [cadangan batu bara RI masih cukup untuk] 200 tahun. Kemudian, kalau kita pakai sendiri, kita tidak ekspor, itu mungkin bisa sampai 500—600 tahun. Jadi, sebenarnya kita harus melakukan sesuatu dengan batu bara,” ujarnya.

Atas dasar itu, Rahmat menilai misi besar penghiliran batu bara tidak boleh sampai tersendat. Terlebih, di antara negara-negara produsen batu bara terbesar di dunia, Indonesia adalah yang paling akan terdampak secara ekonomis, jika komoditas tersebut dilarang untuk bahan bakar pembangkit listrik. 

“Ini mungkin yang harus menjadi perhatian juga ke depannya, mengingat cadangan [batu bara] kita sangat besar. Dibandingkan dengan 5—6 negara lain yang memiliki cadangan batu bara, kita yang paling besar dampaknya saat batu bara harus dihentikan. Jadi, jangan dihentikan. Kita cari bagaimana bisa memakai batu bara bersih,” ujarnya.

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi

(wdh)

No more pages