Penguatan nilai tukar rupiah juga sedikit banyak membebani kinerja ekspor Indonesia. Sepanjang November, rupiah menguat 2% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Saat rupiah menguat, produk-produk made in Indonesia menjadi lebih mahal di pasar global. Ini tentu akan mempengaruhi permintaan.
Impor Turun Tipis, Neraca Dagang Surplus
Sementara impor diperkirakan mengalami kontraksi tipis 0,04% yoy pada November. Seperti halnya ekspor, impor pun tidak pernah tumbuh positif sejak Juni.
Akan tetapi, kontraksi impor makin menipis. Bahkan pada November sudah hampir mencapai teritori positif.
Saat permintaan luar negeri masih lemah, permintaan domestik justru tumbuh. Pada Oktober, Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan ritel tumbuh 2,4% yoy. Ini menjadi pencapaian tertinggi sejak Juni.
Sedangkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober mencapai 124,3. Ini adalah yang tertinggi sejak Agustus.
Penguatan rupiah juga membuat barang-barang impor lebih menjadi murah. Butuh rupiah yang lebih sedikit untuk membeli barang dari luar negeri.
Meski penurunan ekspor jauh lebih dalam ketimbang ekspor, tetapi neraca perdagangan diproyeksi masih bisa positif. Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg memperkirakan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 3,04 miliar pada November.
Jika terwujud, maka surplus neraca perdagangan akan terjadi 43 bulan tanpa putus.
Surplus neraca perdagangan menjadi modal bagi stabilitas nilai tukar rupiah tahun ini. Sepanjang 2023 (year-to-date/ytd), rupiah hanya melemah 0,55% terhadap dolar AS.
Ini membuat rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Baht Thailand melemah 2,17%, ringgit Malaysia anjlok 6,91%, peso Filipina terdepresiasi 0,66%, yen Jepang ambruk 9,29%, won Korea Selatan terpangkas 3,78%, yuan China melemah 3,99%, dan rupee India terdepresiasi 0,73%.
(aji)