BMO Capital Markets, misalnya, memproyeksikan defisit minor terhadap pasok tembaga tahun depan. Goldman Sachs Group Inc juga memperkirakan suplai tembaga dunia akan tekor lebih dari 500.000 ton tahun depan. Jefferies pun mengestimasikan terjadinya shortfall besar tahun depan.
Sebelumnya, padahal, lembaga-lembaga tersebut memproyeksikan tembaga bakal surplus besar pada 2024. Harga juga akan bagus, seiring dengan makin masifnya proyek besar baru, terkhusus EV, yang marak dimulai di seluruh dunia.
Sayangnya, harapan sebagian besar industri untuk mendapatkan surplus tembaga bakal pupus pada akhir dekade ini, lantaran lonjakan permintaan untuk EV dan infrastruktur energi terbarukan diperkirakan berbanding terbalik dengan pembukaan tambang baru.
Persediaan tembaga aktif di London Metal Exchange (LME) telah melonjak sejak pertengahan tahun ke level tertinggi dalam dua tahun, tetapi kini justru melorot selama tiga pekan berturut-turut.
“Gangguan telah meningkat secara signifikan, dan kemungkinan terjadinya defisit pasar kini makin besar,” kata Jefferies, dilansir Bloomberg.
“Kita mungkin berada di puncak siklus tembaga berikutnya.”
Menyitir laporan United States Geological Survey (USGS), hingga saat ini, sekitar 700 juta metrik ton tembaga telah diproduksi di seluruh dunia. Jumlah ini setara dengan kubus berukuran sekitar 430 meter di sisinya.
(dov/ain)