Hal itu mengingat persentase korban kejahatan yang melapor ke Kepolisian masih relatif rendah dan terus menurun dalam tiga tahun terakhir di mana pada 2020 angkanya masih 23,46% menjadi 22,98% pada 2022.
"Rendahnya tingkat pelaporan masyarakat yang mengalami menunjukkan bahwa data registrasi polisi masih belum dapat menggambarkan keseluruhan kejadian yang dialami oleh masyarakat. Dengan kata lain, angka gelap kejahatan (dark number of crimes) secara umum masih relatif tinggi," jelas BPS dalam publikasi yang dilansir awal pekan ini.
Pencurian dan KDRT Meningkat
Mengacu pada jenis-jenis tindak kriminalitas, tercatat yang mengalami kenaikan cukup tajam adalah tindak kejahatan pencurian tanpa kekerasan, termasuk di antaranya adalah pencurian kendaraan bermotor, pencurian dengan pemberatan; serta tindak kejahatan terhadap fisik mencakup tindakan penganiayaan berat dan ringan juga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Jumlah kejadian pencurian misalnya, sebenarnya menurun pada periode 2018-2021. Namun, pada 2022 angkanya naik tajam hingga 33% mencapai 91.892 kasus dan menjadi jumlah kasus terbesar dalam lima tahun terakhir.
Sementara dari data korban kejahatan, selama periode 2020–2022, sebagian besar penduduk korban kejahatan mengalami jenis kejahatan pencurian yang persentasenya terus meningkat dari tahun ke tahun. Persentase korban kejahatan pencurian meningkat dari 86,51% pada 2020, menjadi 86,77% di tahun 2021 kemudian meningkat lagi menjadi 89,11% di tahun 2022.
Kesenjangan Ekonomi
Hasil studi yang dilakukan oleh Agung M. Wahyu dan kawan-kawan dalam "Ketimpangan Ekonomi Berdampak pada Tingkat Kriminalitas? Telaah dalam Perspektif Psikologi Problematika Sosial" yang dimuat di Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, menyimpulkan, peningkatan ketimpangan ekonomi bisa menyebabkan peningkatan kriminalitas.
Sementara kemiskinan dan tingkat pendidikan, menurut studi yang dilansir oleh Afi S. Wicaksono dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada 2022, memiliki korelasi positif dengan kriminalitas. Kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, perbedaan dalam menikmati fasilitas publik yang dialami penduduk miskin bisa membuat mereka frustrasi dan cenderung melakukan perbuatan menyimpang.
Begitu juga kondisi pengangguran yang bisa memicu tindakan kriminal karena orang yang tidak memiliki pekerjaan jelas berdampak langsung pada kemiskinan, menurut studi Rafli M. Sabiq dari Universitas Padjajaran.
Berkaca pada data periode yang sama, Indonesia mencatat fluktuasi tingkat kesenjangan ekonomi yang cenderung semakin tajam beberapa tahun terakhir. Gini ratio atau rasio gini yang menjadi salah satu indikator kesenjangan ekonomi dan sosial masyarakat pada 2018 tercatat sebesar 0,384.
Angka itu sempat menyentuh level terendah pada 2019 di 0,38. Namun, terjadi kenaikan lagi dan pada Maret 2023 angkanya semakin tinggi di 0,388.
Nilai rasio gini berkisar antara 0 hingga 1, di mana bila angkanya besar semakin mendekati satu maka itu berarti menunjukkan ketimpangan pendapatan penduduk semakin lebar atau mendekati ketimpangan sempurna. Begitu juga sebaliknya.
Angka pengangguran di Indonesia dalam lima tahun terakhir bahkan sempat menembus 10,19% pada 2020 dan kini melandai menjadi 9,36%. Meski secara persentase angka pengangguran terbuka di Indonesia sudah lebih rendah, akan tetapi bila memperluas cakupan status pengangguran dengan setengah pengangguran, yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan lain yang lebih layak, angkanya meningkat saat ini.
Pada 2023, berdasarkan data Sakernas Agustus yang dilansir terakhir oleh BPS, jumlah orang yang berstatus pengangguran dan setengah menganggur mencapai 17,2 juta orang. Angka itu lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 16,99 juta orang.
Kondisi Keuangan Kian Berat
Lonjakan kasus kriminalitas dicemaskan bisa semakin besar di tengah kondisi keuangan masyarakat Indonesia yang terlihat semakin berat dalam tekanan. Kenaikan harga pangan pokok seperti beras dan bumbu dapur yang mencapai rekor tahun ini, ditambah ketersediaan lapangan kerja yang sempit, ditengarai mengikis kekuatan konsumsi masyarakat.
Hasil survei Bank Indonesia terakhir mengungkapkan, rata-rata proporsi pengeluaran masyarakat untuk konsumsi menurun tipis dari 75,6% menjadi 75,3% terhadap pendapatan. Ini terjadi di semua kelompok pengeluaran.
Pada saat yang sama, alokasi pendapatan untuk membayar cicilan utang melonjak dari 8,8% pada Oktober menjadi 9,3%, bulan lalu. Situasi itu menurunkan kemampuan masyarakat untuk menabung dengan penurunan proporsi tabungan menjadi 15,4% dari pendapatan. Bulan sebelumnya angkanya masih 15,7%.
Dengan kata lain, pendapatan mayoritas masyarakat Indonesia semakin banyak yang tersedot untuk membayar cicilan utang sehingga memangkas konsumsi dan kemampuan menabung.
Ini yang membuat optimisme masyarakat terhadap kondisi perekonomian ke depan, menurun. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada bulan lalu tercatat di angka 123,6, turun 0,7 poin dibanding bulan sebelumnya dan menjadi level terlemah sejak September lalu. Penurunan terutama karena tergerusnya Indeks Penghasilan Saat Ini yang jatuh ke level terendah sejak September 2022.
(rui/aji)