Deposit yang teridentifikasi di dunia mengandung sekitar 2,1 miliar metrik ton tembaga tambahan, sehingga jumlah total tembaga yang ditemukan menjadi 2,8 miliar metrik ton, setara kubus berukuran 680 meter di sisinya.
“Diperkirakan juga bahwa sumber daya yang belum ditemukan mengandung sekitar 3,5 miliar metrik ton tembaga, yang berarti terdapat sekitar 6,3 miliar metrik ton tembaga di bumi. Ini akan masuk ke dalam kubus berukuran sekitar 890 meter di sisinya,” papar USGS.
Dari tembaga yang teridentifikasi dan belum diambil dari dalam tanah, sekitar 65% hanya ditemukan di lima negara, yaitu Cile, Australia, Peru, Meksiko, dan Amerika Serikat (AS).
Dua Kabar Besar
Saat pasok tembaga diproyeksi defisit, dalam beberapa pekan terakhir pasar tembaga turut diguncang oleh setidaknya dua kabar besar. Pertama, penutupan tambang Cobre Panama senilai US$10 miliar yang tadinya dikelola oleh First Quantum Minerals Ltd.
Artinya, dunia bakal kehilangan pasok dari tambang tembaga terbesar ke-8 dunia yang memproduksi 400.000 ton per tahun atau sekitar 3% dari total output global.
Kedua, Anglo American Plc pengumuman pemangkasan produksi dari bisnis tembaga andalannya di Amerika Selatan. Anglo telah mengurangi target produksi tembaganya untuk tahun depan sekitar 200.000 ton, yang pada dasarnya menghilangkan pasokan tembaga setara dengan tambang tembaga besar dari pasokan global. Produksi akan makin turun pada 2025.
Dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Technoz, Tony Wenas, Direktur Utama PT Freeport Indonesia (PTFI) – penambang tembaga nomor wahid di Tanah Air – juga mengafirmasi soal prospek penurunan pasok tembaga dunia ke depan.
“Untuk suplainya, [ke depan] tidak ada rencana pembukaan tambang tembaga baru yang signifikan di seluruh dunia. Jadi kelihatannya demand-nya naik, supply-nya begitu-begitu saja. Kira-kira itu,” kata Tony.
Dia mengelaborasi 65%—70% tembaga di dunia digunakan untuk menghantar listrik, karena karakternya sebagai logam terbaik untuk menghantar listrik. Berbanding lurus, dunia sedang berlomba untuk membuat pembangkit energi baru terbarukan (EBT), sehingga membutuhkan tembaga lebih banyak.
“Misalnya, untuk pembangkit listrik tenaga bayu; itu per 1 megawatt [MW]-nya membutuuhkan tembaga sekitar 1,5 ton. Kalau panel surya, itu per MW-nya akan membutuhkan tembaga sekitar 4—5 ton. Demikian juga untuk pembangkit listrik tenaga air,” sebutnya.
“Belum lagi untuk mobil listrik, kebutuhan tembaganya empat kali lebih banyak dari mobil konvensional. Jadi dengan begitu, permintaan tembaga dunia akan naik terus. Beberapa analis memperkirakan terjadi kenaikan permintaan tembaga.”
(wdh)