Kebijakan dapat bertahan sampai data yang ada memberikan keyakinan bahwa inflasi berada pada jalur penurunan berkelanjutan hingga 2% dan kemungkinan akan memakan waktu lama.
Andy menilai tidak menutup kemungkinan Indonesia juga terkena imbas dari ancaman resesi dan inflasi global. Oleh karena itu, para investor perlu tetap memperhatikan pergerakan pasar.
“Saya menyarankan bahwa, walaupun Indonesia sekarang dikatakan aman-aman saja, investor tetap perhatikan pergerakan (pasar saham), terutama untuk yang melakukan trading. Pantau terus dengan cermat. Kalau market-nya crash, mereka bisa cut loss dan pindahkan dananya ke yang lebih aman. Bisa di reksa dana berbasis fix income atau pasar uang supaya dananya aman dulu,” jelas Andy.
Lebih lanjut, Andy mengatakan, investor juga perlu melakukan diversifikasi instrumen saham. Para investor yang memiliki profil risiko agresif, katanya, dapat menginvestasikan dana mereka melalui Surat Utang Negara (SUN) sebagai investasi cadangan.
Andy mencontohkan pembagian komposisi investasinya dapat sebesar 75% di pasar saham dan 25% di SUN. Sebagai alternatif, ungkapnya, dapat juga dibagi sebesar 60% di pasar saham, 20% di SUN, dan 20% sisanya di reksa dana pasar uang atau fix income.
Selain itu, diversifikasi juga dapat dilakukan dari segi jenis emiten.
“Kalau sekarang, batu bara dan mineral sedang jadi idola. Mereka bisa alokasikan mayoritas di emiten barang tambang, paling tidak 50-60%. Selebihnya, mereka bisa ke bank 40%. Bank pastinya relatif stabil atau bisa juga (emiten) perdagangan, IT, dan telekomunikasi,” tutup Andy.
(tar/wep)