Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Di tengah ketidakpastian suku bunga dari Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed), pasar saham Indonesia dinilai tidak akan terdampak secara signifikan. Menurut perencana keuangan Andy Nugroho implikasinya akan lebih dirasakan pada operasional perusahaan publik atau emiten, terutama yang korporasi besar yang melakukan perdagangan luar negeri. 

“Kalau menurut saya, dampak naik turunnya suku bunga di luar negeri tidak sedekat itu ataupun seefektif itu untuk mempengaruhi pasar saham kita,” kata Andy saat dihubungi Bloomberg Technoz pada Rabu (1/3/2023). 

Andy mengungkapkan, secara teoritis pasar saham memang mengikuti sentimen di dalam dan luar negri yang dapat berakibat pada volatilitas harga saham. Namun, menurutnya, kondisi pasar saham Indonesia tidak sesensitif itu.

“Dampaknya  lebih kepada emiten korporasi-korporasi besar. Misalnya, pada perusahaan consumer goods nasional yang sudah menjadi eksportir. Itu akan terdampak karena mungkin ada utang luar negeri, serta sindikasi pembiayaan dari bank luar. Bisa jadi kesulitan untuk mengimpor bahan baku industri dan memasarkan produk ke luar negeri,” jelasnya. 

Pejabat Federal Reserve memang masih mengantisipasi kenaikan suku bunga lebih lanjut. Hal ini guna menurunkan inflasi ke target 2%. Dalam risalah rapat Fed pada 31 Januari- 1 Februari yang dirilis di Washington, Rabu (22/02/2023), disebutkan bahwa peserta rapat mengamati bahwa sikap kebijakan yang restriktif perlu dipertahankan.

Kebijakan dapat bertahan sampai data yang ada memberikan keyakinan bahwa inflasi berada pada jalur penurunan berkelanjutan hingga 2% dan kemungkinan akan memakan waktu lama.

Andy menilai tidak menutup kemungkinan Indonesia juga terkena imbas dari ancaman resesi dan inflasi global. Oleh karena itu, para investor perlu tetap memperhatikan pergerakan pasar. 

“Saya menyarankan bahwa, walaupun Indonesia sekarang dikatakan aman-aman saja, investor tetap perhatikan pergerakan (pasar saham), terutama untuk yang melakukan trading. Pantau terus dengan cermat. Kalau market-nya crash, mereka bisa cut loss dan pindahkan dananya ke yang lebih aman. Bisa di reksa dana berbasis fix income atau pasar uang supaya dananya aman dulu,” jelas Andy. 

Lebih lanjut, Andy mengatakan, investor juga perlu melakukan diversifikasi instrumen saham. Para investor yang memiliki profil risiko agresif, katanya, dapat menginvestasikan dana mereka melalui Surat Utang Negara (SUN) sebagai investasi cadangan.

Andy mencontohkan pembagian komposisi investasinya dapat sebesar 75% di pasar saham dan 25% di SUN. Sebagai alternatif, ungkapnya, dapat juga dibagi sebesar 60% di pasar saham, 20% di SUN, dan 20% sisanya di reksa dana pasar uang atau fix income.

Selain itu, diversifikasi juga dapat dilakukan dari segi jenis emiten.

“Kalau sekarang, batu bara dan mineral sedang jadi idola. Mereka bisa alokasikan mayoritas di emiten barang tambang, paling tidak 50-60%. Selebihnya, mereka bisa ke bank 40%. Bank pastinya relatif stabil atau bisa juga (emiten)  perdagangan, IT, dan telekomunikasi,” tutup Andy.

(tar/wep)

No more pages