“Di seluruh dunia, saat ini baterai yang beredar itu 800 gigawatt hour [GWh] atau untuk sekitar 10 juta kendaraan. Dengan cadangan Antam saja, [produksi bahan baku dari Indonesia] sudah [mencakup] hampir setengahnya,” kata Toto.
Menyitir laman resmi Antam, total cadangan nikel terkonsolidasi perseroan per 2021 – dengan memperhitungkan cadangan PT Gag Nikel – mencapai 381,91 juta ton basah (wmt), yang terdiri dari 332,69 juta wmt nikel kadar tinggi (saprolit) dan 49,22 juta wmt kadar rendah (limonite).
Sementara itu, sumber daya nikel terkonsolidasi Antam mencapai 1,40 miliar wmt, yang terdiri dari 898,05 juta wmt saprolite dan 10,68 juta wmt limonite. Bahkan, cadangan Antam diklaim meliputi 5% total cadangan nikel dunia.
“Dengan adanya peluang seperti itu, inilah sebenarnya peluang Indonesia untuk memainkan peran kita di dunia. Kita memiliki hal itu dan itu bukan saja mengenai roadmap, tetapi sudah on the ground. Jadi itu potensi Indonesia yang sebenarnya tidak banyak orang tahu,” sebut Toto.
Dia pun percaya diri Indonesia bisa menjadi pemain utama dunia yang mengatur rantai pasok baterai EV, dari sisi harganya.
Pemerintah sendiri telah menyusun peta jalan untuk menjadikan RI sebagai raksasa baterai kendaraan listrik dunia, yang mencakup pembangunan industri dan ekosistem baterai EV di Tanah Air melalui tahapan strategis sampai dengan 2034.
“Untuk 2034, Indonesia [ditargetkan] memproduksi 50 GWh baterai untuk roda dua dan empat, serta untuk energy storage system [ESS/sistem penyimpanan daya] untuk men-support pengembangan EBT,” kata Toto dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, akhir November.
Dia mengutarakan, secara kumulatif,Indonesia memiliki potensi pengembangan industri baterai dengan kapasitas mencapai 60 GWh atau setara dengan daya untuk 400.000—600.000 kendaraan listrik roda empat dan 3—4 juta unit roda dua.
Pada tahun depan, lanjutnya, industri baterai akan mulai difokuskan untuk memproduksi sebanyak 10 GWh – hanya untuk sektor otomotif saja – melalui kerja sama dengan dua perusahaan Korea Selatan yaitu Hyundai Motor Company dan LG Energy Solution.
Pada 2024, pengembangan industri baterai juga ditargetkan untuk menghasilkan 13% bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan nasional, serta 5.000 stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Pada 2026, kata Toto, Indonesia akan mulai memproduksi sel baterai dari penghiliran industri pertambangan yang sudah digalakkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
“Potensi industri baterai ini dapat mengurangi emisi sebesar 9 juta ton CO2 per tahun, atau setara dengan kurang lebih 8% dari total kendaraan nasional. Lalu, dapat juga mengurai impor hampir 30 juta barel fossil fuel per tahun."
Pada 2030, sambungnya, pengembangan industri baterai di Indonesia ditargetkan dapat mendukung pencapaian nol emisi karbon melalui adopsi ESS hingga 3,5 GWh.
“Tentu saja dilakukan dengan mengembangkan ekosistem baterai ESS, penyatuan seluruh value chain dari hulu ke hilir. Kami bekerja sama dengan PT Antam untuk integrasi rantai nilai baterai mulai dari tambang-tambang milik PT Antam,” paparnya.
– Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)