Dengan demikian, dia berharap akses pasar bagi produk-produk Indonesia—khususnya produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) —makin terbuka lebar. Selain itu, pelaku industri di dalam negeri bisa mendapatkan bahan baku atau keperluan penunjang produksi dengan harga yang lebih kompetitif.
"[Negosiasi dagang] yang sudah kita selesaikan itu [dengan] Asean. Makanya [ekspor RI ke negara anggota] Asean naik. Hubungan [dagang] kita dengan Malaysia tinggi, hampir US$10 miliar. Dengan Filipina surplusnya US$11 miliar. Itu hampir Rp200 triliun. Dengan Malaysia hampir Rp160 triliun," ujar Zulhas saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2023 di Bandar Lampung, Rabu (01/03/2023).
Dia menyadari, tanpa pendekatan negosiasi internasional, sulit bagi Indonesia untuk melanjutkan surplus neraca perdagangan yang memecahkan rekor seperti tahun lalu.
Neraca perdagangan Indonesia pada 2022 mencatatkan surplus tertinggi dalam sejarah, yaitu senilai US$54,46 miliar. Secara nilai, pengapalan produk RI sepanjang tahun lalu menembus US$291,98 miliar atau naik 26,07% secara year on year (yoy).
"Kita harus membauat agar ekspor ini bisa lebih mudah, tidak ada yang menghambat seperti saat ini," katanya.
Hambatan dagang, kata Zulhas, menghantui ekspor produk-produk Indonesia ke banyak mitra dagang, tanpa terkecuali negara-negara sahabat. Situasi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah pihak di negara yang sepakat menghapus hambatan dagang dengan Indonesia.
"Contohnya di Arab Saudi, [ekspor Indonesia] kecil [nilainya] karena banyak hambatannya. Mereka mau beli [kayu] gaharu untuk parfum, karena ada barrier, akhirnya mereka beli lewat Singapura. Singapura akhirnya yang mendapatkan untung," tuturnya.
Selain hambatan tarif dan nontarif dari sisi eksternal, ekspor Indonesia dihadapkan pada hambatan dari dalam negeri. Zulhas menyebut birokrasi yang berbelit membuat distribusi sejumlah produk ekspor dari wilayah asalnya terhambat ke pelabuhan-pelabuhan.
"Kalau di Lampung ini contohnya, kopi mau dibawa ke Jakarta ruwet. Nanti mau dibawa lagi atau diekspor ke Dubai, ruwet lagi. Kalau enggak segera diselesaikan, bagaimana ekspor kita ini?" keluhnya.
Risiko Perlambatan
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar menyampaikan Indonesia perlu mewaspadai pertumbuhan perdagangan yang relatif lebih lambat pada 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) memperkirakan laju pertumbuhan perdagangan pada 2023 bisa mencapai -2,8% hingga 4,6% yang dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan geopolitik global.
"Pertumbuhan volume ekspor dan impor barang di Asia diperkirakan masing-masing hanya sebesar 1,1% dan 2,2% pada 2023," katanya.
Sejalan dengan isu resesi yang akan terjadi pada 2023, dan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh Dana Moneter Internasional ataau International Monetary Fund (IMF), WTO juga memangkas proyeksi pertumbuhan volume perdagangan barang dunia hingga 1% pada 2023.
(wdh)