Dewan Pers menerakan contoh pasal dalam UU ITE hasil revisi yang masih menjadi ancaman bagi kerja-kerja jurnalistik.
Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1) pada revisi kedua atas UU ITE kata Ninik, berpotensi mengebiri pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik (di internet) terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagaipenyebaran pencemaran atau kebencian.
Kemudian adapun ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun. Selain itu, aparat Kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong seperti
diatur dalam revisi kedua atas UU ITE ini.
"Pasal-pasal itu secara tidak langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers, yang pada akhirnya akan menciderai upaya mewujudkan negara demokratis," katanya lagi.
Dewan Pers karena itu menegaskan bahwa sekalipun implementasi UU ITE sudah diatur di Pedoman Implementasi Undang-Undang ITE Nomor 229 Tahun 2021 berdasarkan Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tetapi karya jurnalistik tetap dalam koridor UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalamnya diatur lex specialis hasil karya pers sehingga tak bisa dibawa seenaknya ke aparat hukum.
"Namun demikian Pedoman Nomor 229/2021 akan menjadi tantangan berat karena norma hukum yang memayunginya justru membuka celah penafsiran yang membelenggu kemerdekaan pers," ujar perempuan tersebut.
(ezr)