Menurut dia, KPK masih bisa menjerat Eko dengan pasal atau tindak pidana lainnya. Hal ini termasuk merujuk pada potensi tindak pidana pencucian uang atau pidana lainnya. Sementara, Eko dikenakan Pasal 12G Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tentang gratifikasi.
Kasus Eko Darmanto muncul usai masyarakat merasa geram terhadap kebiasaan pamer harta kekayaan atau flexing dari para pejabat pemerintahaan. Deputi Pencegahan KPK pun merespon dengan melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat yang dilaporkan masyarakat memiliki harta kekayaan janggal.
Pada saat itu, KPK pun merasa aneh pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Eko Darmanto. Dalam laporan tersebut, dia mencatat punya utang hingga Rp9 miliar dari total kekayaannya yang mencapai Rp15 miliar.
KPK menilai, profil penghasilan Eko tak selaras dengan kemampuan mencicil hutang hingga sebesar Rp9 miliar. Ternyata, KPK justru menemukan sejumlah kejanggalan pada kekayaan Eko dan dugaan gratifikasi proses ekspor impor yang ditanganinya sebagai kepala bea cukai.
KPK kemudian menetapkan Eko sebagai tersangka pada pertengahan September lalu. Lembaga antirasuah ini juga meminta bantuan Ditjen Imigrasi untuk mencegah Eko dan tiga pengusaha ke luar negeri hingga Maret 2024.
Tiga pengusaha tersebut adalah Komisaris PT Ardhani Karya Mandiri Ari Muniriyanti Darmanto, Komisaris PT Emerald Perdana Sakti Rika Yunartika dan Direktur PT Emerald Perdana Sakti Ayu Andhini.
Dalam kasus flexing, KPK setidaknya sudah menjerat dua pejabat yang dirinya atau keluarganya kerap pamer harta. Mereka adalah mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Trisambodo; dan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono.
(fik/frg)