Ini menjadi kombinasi yang buruk karena bisa menjadi indikasi kesejahteraan mayoritas masyarakat saat ini kian terperosok di tengah pengetatan moneter yang telah dilangsungkan oleh BI selama lebih dari setahun terakhir.
Sinyal hawkish BI yang berniat mempertahankan bunga tinggi lebih lama, dikhawatirkan bisa semakin menjatuhkan kemampuan masyarakat dalam berbelanja dan pada akhirnya turut menyeret pertumbuhan ekonomi semakin lemah tahun depan. "Perekonomian kita berpotensi lebih lemas lagi tahun depan," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
Perekonomian kita berpotensi lebih lemas lagi tahun depan di bawah 5%
Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas Indonesia
Berbagai paket stimulus baik berupa bantuan sosial (bansos) ataupun paket insentif lain yang digadang oleh pemerintah, terlihat belum terlihat efeknya. Belanja pemerintah sejauh ini masih seret di mana anggaran pemerintah pusat sampai Oktober lalu baru dibelanjakan 74%. Sementara anggaran pemerintah daerah malah baru terserap 64%.
Boleh jadi karena kesibukan jelang Pemilu dan Pilpres 2024 yang sudah masuk musim kampanye telah memecah konsentrasi para pejabat penyelenggara negara.
Hasil survei BI memaparkan, pada November lalu, rata-rata proporsi pengeluaran masyarakat untuk konsumsi juga menurun tipis dari 75,6% menjadi 75,3% terhadap pendapatan. Ini terjadi di semua kelompok pengeluaran.
Pada saat yang sama, alokasi pendapatan untuk membayar cicilan utang melonjak dari 8,8% pada Oktober menjadi 9,3%, bulan lalu. Situasi itu menurunkan kemampuan masyarakat untuk menabung dengan penurunan proporsi tabungan menjadi 15,4% dari pendapatan. Bulan sebelumnya angkanya masih 15,7%.
Dengan kata lain, pendapatan mayoritas masyarakat Indonesia semakin banyak yang tersedot untuk membayar cicilan utang sehingga memangkas konsumsi dan kemampuan menabung.
Fenomena ini terutama terjadi di kelompok ekonomi bawah dengan nilai pengeluaran per bulan di bawah Rp2 juta. Kelompok ini mencatat lonjakan penggunaan pendapatan untuk membayar cicilan utang terbesar dibandingkan kelompok pengeluaran lain. Kenaikannya mencapai 1,3 poin, melampaui angka rata-rata 0,5 poin.
Sementara itu, kelompok kelompok pengeluaran di atas Rp2 juta kebanyakan menurun konsumsinya dan meningkat pengeluaran untuk cicilan utang, namun mereka tetap bisa menabung.
Hanya kelompok dengan pengeluaran Rp5 juta saja yang mencatat kenaikan pengeluaran untuk konsumsi pada November dan pada saat yang sama alokasi untuk cicilan utang dan tabungannya menurun.
Dalam laporan sebelumnya, kajian dari Mandiri Institute juga menggarisbawahi fenomena serupa. Mandiri Spending Index (MSI) mencatat, indeks tabungan masyarakat menengah-bawah terus tertekan bahkan anjlok ke level terendah dalam hampir dua tahun terakhir.
Tren penurunan itu sudah terjadi sejak awal 2022 hingga saat ini terutama pasca Lebaran April lalu. Karena tabungan terus terpakai, akhirnya kemampuan belanja atau konsumsi lama-lama bisa terkikis.
Sementara bila mengacu pada data Lembaga Penjamin Simpanan, rekening dengan nominal saldo di bawah Rp100 juta mencatat tren penurunan dalam tiga bulan berturut-turut sejak Juli lalu.
"Kelompok menengah bawah berupaya untuk mempertahankan pola konsumsi yang sama. Sementara dari sisi pendapatan, belum ada peningkatan penerimaan yang berarti. Yang terjadi, mereka menggunakan tabungan," kata Head of Research Mandiri Institute Teguh Wicaksono.
Lapangan kerja sempit
Mayoritas masyarakat Indonesia juga menilai, ketersediaan lapangan kerja saat ini seret, terindikasi dari angka Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja yang tergerus 4,3 poin ke level terendah dalam tiga bulan terakhir.
Sempitnya lapangan kerja terutama dirasakan oleh kelompok bawah dengan pengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta, terendah dalam 12 bulan terakhir, dan dirasakan juga oleh kelompok atas dengan pengeluaran di atas Rp5 juta.
Berdasarkan umur, lapangan kerja yang sempit dirasakan oleh hampir semua kelompok umur di atas 30 tahun. Kelompok usia di atas 30 tahun ini juga yang paling pesimistis terhadap penciptaan lapangan kerja ke depan.
Sementara berdasarkan tingkat pendidikan, hampir semua kelompok pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja terutama untuk lulusan Akademi dan Pasca Sarjana.
Alhasil, Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja yang mengukur keyakinan masyarakat terhadap adanya pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan, anjlok 2,6 poin ke level terendah tiga bulan terakhir.
Masyarakat Indonesia tidak cukup yakin kondisi ekonomi akan lebih baik di masa mendatang dengan Indeks Keyakinan Konsumen pada November turun 0,7 poin.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sampai September lalu, hampir 20 juta orang di Indonesia masih berstatus pengangguran dan sebagian lagi masih mencari pekerjaan lebih layak. Angkanya mencapai 17,2 juta orang, lebih tinggi dibanding setahun sebelumnya di angka 16,69 juta orang.
Belanja pemerintah mampet
Tekanan daya beli, fenomena 'mantab' dan memburuknya kondisi keuangan masyarakat yang salah satunya karena ketiadaan lapangan kerja, berlangsung di tengah realisasi belanja pemerintah yang rendah.
Kinerja belanja pemerintah yang buruk ini sudah disoroti oleh Presiden Joko Widodo dalam acara Banker's Dinners, beberapa waktu lalu.
"Realisasi belanja pemerintah daerah itu masih di angka 64%, padahal tinggal 3 minggu lagi. Pemerintah pusat masih 76% penyerapannya. Hal-hal seperti ini selalu saya ikuti dan saya telepon Menteri Keuangan ke Bank Indonesia, sebenarnya kondisinya seperti apa?" ujar Jokowi.
Ada indikasi belanja kementerian yang masih lambat di mana cuma tumbuh 1,9% dibanding tahun lalu, akibat lemahnya realisasi belanja peralatan dan program bantuan sosial, yang turun sebesar 6,2% dan 10%.
Kementerian Sosial, sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas dana bantuan sosial dan stimulus bagi masyarakat berpenghasilan rendah malah mencatat penurunan realisasi anggaran hingga 23,6% yakni Rp52,3 triliun pada tahun ini, dibandingkan Rp79 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Belanja pemerintah krusial karena pengaruhnya besar terhadap konsumsi rumah tangga dan investasi. Semakin lamban laju belanja pemerintah, pertumbuhan ekonomi bisa ikut terseret rendah.
"Indikator-indikator terbaru APBN masih menunjukkan pelemahan, kekhawatiran kami adalah perlambatan ekonomi mungkin akan terus berlanjut pada kuartal I-2024 dan kuartal II-2024," kata Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, dalam catatan yang dilansir beberapa waktu lalu.
Menurut penilaian ekonom, rendahnya penyerapan belanja Kementerian terpengaruh oleh kebijakan politik jelang Pemilu dan Pilpres 2024.
"Meskipun pasar mengharapkan pasokan uang yang lebih tinggi dari pemilu, pada kenyataannya peningkatan ketegangan politik mungkin membuat para pejabat enggan mempercepat proyek mereka. Di tingkat provinsi, proses transisi sulit dilakukan bagi pemimpin daerah baru yang sebagian besar adalah para profesional yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Sampai Oktober 2023, realisasi transfer daerah dan dana desa turun 1,6%, terseret oleh lesunya pencairan dana khusus daerah, dana bagi hasil, dan dana otonomi khusus," jelas Satria.
Dengan arah bunga acuan yang diperkirakan masih akan tinggi, ditambah belanja pemerintah yang seret dan para pejabat penyelenggara negara terpecah konsentrasi pada Pemilu dan Pilpres, perekonomian domestik jadi taruhan.
"Pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa di bawah 5%, proyeksi saya 4,8%," kata Lionel. Berbagai stimulus fiskal seperti bansos hanya akan menjadi bantalan agar daya beli tidak terlalu rontok, menurutnya, akan tetapi itu tidak akan mampu mengungkit permintaan lebih tinggi. "Jadi, perekonomian kita berpotensi lebih lemas lagi tahun depan," kata Lionel.
(rui)