Dengan biaya awal sekitar US$4 juta—US$5 juta per MW, Riza menyebut kebutuhan pendanaan ini menghadirkan risiko tersendiri bagi pengembang dan dapat menjadi penghalang bagi banyak pelaku industri untuk masuk ke dalam bisnis panas bumi.
“Selain itu risiko dan hambatan dalam konteks regulasi dan tata kelola dihadapi oleh para pengembang panas bumi dalam menjalankan proyeknya seperti proses negosiasi pembelian listrik yang tidak menguntungkan pengembang dan kompleksitas perizinan,” tuturnya.
Untuk diketahui, Indonesia menargetkan utilisasi energi panas bumi dalam kelistrikan dalam negeri menembus 5.500 megawatt (MW) pada 2030, setara dengan kontribusi sebesar 51,6% terhadap bauran energi hijau.
Panas bumi belakangan tengah menjadi komoditas yang banyak diincar korporasi-korporasi kakap, yang mulai getol terjun ke lini bisnis energi baru terbarukan. Tidak heran, Indonesia merupakan penghasil panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya panas bumi di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 28,5 gigawatt electrical (GWe) yang terdiri dari sumber daya 11.073 MW dan cadangan 17.453 MW.
Menariknya, sumber daya panas bumi yang termanfaatkan di Indonesia baru mencapai 1.948,5 MW yang terdiri dari 13 pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di 11 wilayah kerja panas bumi (WKP).
Berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2022—2030, secara keseluruhan industri panas bumi Indonesia diperkirakan berkontribusi hingga 16% dari total target dekarbonisasi nasional 2030.
(wdh)