Negosiasi mengenai rancangan undang-undang final dimulai pada Juni, tapi perdebatan sengit dalam beberapa minggu terakhir mengenai pengaturan kecerdasan buatan untuk tujuan umum, seperti ChatGPT dan chatbot Google Bard, membuat perundingan tersebut terhenti pada menit-menit terakhir.
Beberapa negara anggota khawatir bahwa terlalu banyak peraturan akan menghambat inovasi dan merugikan peluang menghasilkan raksasa AI Eropa yang dapat menantang perusahaan-perusahaan AS, seperti pengembang ChatGPT, OpenAI dan perusahaan teknologi seperti Google, juga Meta.
Meskipun tidak ada tenggat waktu yang pasti, para tokoh senior UE telah berulang kali mengatakan bahwa blok tersebut harus menyelesaikan RUU terkait AI sebelum akhir tahun 2023.
Para diplomat UE, sumber-sumber di industri, dan pejabat UE lainnya telah memperingatkan bahwa perundingan dapat berakhir tanpa kesepakatan karena masih terdapat hambatan pada isu-isu utama.
Ada pula yang berpendapat bahwa meskipun kesepakatan politik telah tercapai, beberapa pertemuan masih diperlukan untuk menyelesaikan rincian teknis undang-undang tersebut.
Jika negosiator UE mencapai kesepakatan, undang-undang tersebut akan mulai berlaku paling cepat pada tahun 2026.
Perdebatan utama adalah bagaimana mengatur apa yang disebut model entry-level–yang dirancang untuk melakukan berbagai tugas–di mana Prancis, Jerman, dan Italia menyerukan agar model tersebut dikecualikan dari bagian undang-undang yang lebih ketat.
“Prancis, Italia, dan Jerman tidak menginginkan regulasi terhadap model-model ini,” kata MEP Jerman Axel Voss, anggota komite khusus parlemen mengenai kecerdasan buatan.
Namun, parlemen percaya bahwa pengaturan model seperti itu “perlu… demi alasan transparansi,” kata Voss. Akhir bulan lalu, tiga negara dengan perekonomian terbesar di UE menerbitkan sebuah dokumen yang menyerukan pendekatan “ramah inovasi” terhadap rancangan undang-undang yang disebut Undang-Undang Kecerdasan Buatan.
Berlin, Paris, dan Roma tidak ingin undang-undang tersebut memasukkan aturan ketat pada model foundation , dan justru mengatakan bahwa mereka harus mengikuti kode etik. Banyak yang percaya bahwa alasan perubahan pandangan ini adalah keinginan untuk tidak menghalangi perkembangan para pemimpin Eropa dan mungkin keinginan untuk membantu perusahaan seperti Mistral AI dari Prancis dan Aleph Alpha dari Jerman.
Perdebatan lainnya adalah pengawasan biometrik jarak jauh–yang pada dasarnya adalah identifikasi wajah menggunakan data dari kamera di tempat umum. Parlemen UE menginginkan larangan total terhadap sistem identifikasi jarak jauh biometrik secara “real-time”, yang ditentang oleh negara-negara anggota.
Komisi pada awalnya mengusulkan untuk memperkenalkan pengecualian yang memperbolehkan pencarian calon korban kejahatan, termasuk anak-anak yang hilang.
Terdapat usulan agar anggota Parlemen Eropa dapat memberikan konsesi dalam isu ini sebagai imbalan atas konsesi di bidang lain. Brando Benifei, salah satu anggota parlemen yang memimpin perundingan di parlemen, mengatakan dia melihat “keinginan” semua orang untuk mengakhiri perundingan. Namun, ia menambahkan bahwa “kami tidak takut untuk meninggalkan kesepakatan yang buruk.”
Menteri Digital Prancis Jean-Noel Barrot mengatakan penting untuk “mencapai kesepakatan yang baik” dan menyarankan agar tidak terburu-buru mencapai kesepakatan dengan cara apa pun. “Banyak poin penting yang masih perlu dibicarakan dalam satu malam,” imbuhnya.
Kekhawatiran mengenai dampak kecerdasan buatan dan perlunya pengawasan terhadap teknologi tersebar luas di seluruh dunia.
Presiden AS Joe Biden mengeluarkan perintah eksekutif pada Oktober yang mengatur kecerdasan buatan dalam upaya mengurangi risiko yang terkait dengan teknologi tersebut.
Dalam perkembangannya, Kamis (7/12/2012) UE telah mencapai kesepakatan regulasi AI, yang diklaim paling komprehensif untuk negara-negara barat. Para negosiator telah seperangkat kontrol untuk AI generatif seperti ChatGPT milik OpenAI Inc. dan Bard milik Google - jenis yang mampu menghasilkan konten berdasarkan perintah, menurut beberapa orang orang yang mengetahui diskusi tersebut mengatakan pada hari Kamis pagi, dilansir Bloomberg News.
Delegasi dari Komisi Eropa yaitu Parlemen Eropa dan 27 negara anggota mencapai kompromi dalam pertemuan yang dimulai Rabu sore dan telah berlangsung berjam-jam. Bunyi kesepahaman membawa kelompok itu lebih dekat ke kesepakatan formal atas undang-undang yang lebih luas yang dikenal sebagai Undang-Undang AI, kata orang-orang itu.
Kesepakatan tersebut menandai langkah penting dalam membersihkan kebijakan AI penting yang akan - jika tidak ada tindakan berarti dari Kongres AS - menetapkan sinyal untuk meregulasi tools AI generatif di negara maju.
Undang-undang ini akan menjadikan Uni Eropa sebagai pemerintah pertama di luar Asia yang menempatkan aturan batas yang kuat pada teknologi ini. Bloomberg News sebelumnya mengabarkan para pembuat kebijakan telah bekerja selama berbulan-bulan untuk menyelesaikan bahasa dalam Undang-Undang AI dan mengesahkannya sebelum pemilihan umum Eropa pada bulan Juni.
Aturan seputar AI akan menghasilkan komisi dan parlemen baru yang dapat memaksa lebih banyak perubahan dan menghambat upaya-upaya tersebut. Komisi Eropa tidak menanggapi permintaan komentar yang dikirim di luar jam kerja.
Sementara di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika akan mengeluarkan panduan etika penggunaan kecerdasan buatan atau AI untuk perusahaan dan organisasi. Pedoman dimaksudkan untuk membawa manfaat optimal atas tata kelola AI.
Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria pada Selasa kemarin menyatakan Surat Edaran Pedoman AI diharapkant terbit bulan ini. “Kita harapkan bisa dalam bulan Desember 2023. Bisa jadi minggu depan atau pokoknya di bulan Desember,” ujar Nezar.
Nezar menerangkan dalam panduan etika mencakup pengertian kecerdasan artifisial serta panduan umum nilai, etika, dan kontrol kegiatan konsultasi, analisis, dan pemrograman yang memanfaatkan kecerdasan artifisial.
Nezar yakin bahwa pemanfaatan teknologi AI akan menciptakan sesuatu yang luar biasa. Untuk itulah diperlukan aturan pemanfaatan teknologi, selain inklusif, juga produktif.
“Saya sering mendapatkan pertanyaan mengenai bagaimana nantinya AI akan memberikan manfaat bagi masyarakat, mengingat tantangan yang harus diatasi tidaklah sedikit. Yang terpenting adalah kita sebagai manusia harus mempunyai keyakinan pada manusia, karena manusia pada dasarnya cerdas dan baik,” papar dia.
Menurut Nezar, beberapa negara telah mengeluarkan aturan serupa, seperti Singapura dengan Singapore’s Model AI Governance Framework dan China yang juga telah mengeluarkan regulasi AI generatif dan mitigasi risiko atas teknologi yang paling populer sepanjang dua tahun terakhir ini.
(ros/wep)