Logo Bloomberg Technoz

Proporsi sektor informal yang lebih besar bisa mempengaruhi prospek kekuatan daya beli masyarakat dan akhirnya akan berimbas pada kinerja konsumsi masyarakat yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Dari sisi prospek penerimaan pajak negara juga bisa terpengaruh karena pajak juga salah satunya banyak disumbang oleh pendapatan dan konsumsi masyarakat.

Ilustrasi GoTo Gojek Tokopedia. (Dok: Bloomberg)

Dari kacamata pekerja, sektor informal juga jarang memberikan tingkat pendapatan yang memadai dengan perlindungan kesejahteraan lebih rendah dibanding sektor formal. Bahkan dalam model gig economy yang kini marak seiring kemunculan berbagai platform on-demand seperti Gojek, Grab, Maxim, dan lain-lain, pekerja di dalamnya bahkan semakin tereksploitasi dalam model kemitraan yang semu, menurut riset yang dilansir oleh Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (IGPA) pekan ini.

Para ojol dan kurir menyediakan modal kerja sendiri mulai dari kendaraan, bahan bakar motor hingga pengeluaran komunikasi, juga tanpa disertai perlindungan kesejahteraan yang lazim diberikan dalam sektor formal. Posisi penyedia platform menjadi dominan karena risiko bisnis lebih banyak ditanggung oleh pekerja termasuk perihal penyediaan sarana usaha.

Proporsi pekerja sektor formal dan informal di Indonesia (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

"Dominasi tersebut dimungkinkan karena adanya ketergantungan pekerja terhadap pekerjaan dari platform, sebagai akibat dari sempitnya lapangan kerja layak, banyaknya surplus populasi relatif, dan pembiaran dari pemerintah terhadap praktik kemitraan semu," demikian dilansir oleh riset.

Dari hasil riset tersebut, terungkap bila pendapatan bersih para pekerja gig economy di kawasan Jabodetabek tak sampai 40% dari upah minimum provinsi pada 2021. Minimnya pendapatan bersih karena tersedot oleh pengeluaran ongkos sarana kerja mulai sepeda motor, BBM hingga pengeluaran sarana komunikasi seperti internet dan pulsa agar tetap bisa menjaring pelanggan.

Di sisi lain, kian banyaknya masyarakat yang akhirnya menggeluti sektor usaha mikro bahkan sangat mikro, memperlihatkan ada banyak golongan masyarakat yang akhirnya mencoba membuka usaha sendiri dengan modal kecil sekadar agar tetap bisa mendapatkan pendapatan. Mulai dari menjadi menjual barang dari supplier (reseller) barang di marketplace, membuka warung kelontong di perkampungan, jasa cuci baju dan lain sebagainya. 

Mengacu pada kajian SMERU Research Institute pada Juni 2023, setiap 1.000 populasi Indonesia, ada sekitar 242 usaha mikro. Usaha mikro ini memiliki modal atau aset di bawah Rp1 miliar yang tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, sedangkan capaian omset juga kecil di bawah Rp2 miliar per tahun. Mereka memiliki aset atau modal di bawah Rp 1 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) serta omzet di bawah Rp 2 miliar per tahun. Jumlah tenaga kerja antara 1-4 orang.

Data Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat, dari sebanyak 64,2 juta pelaku UMKM, sebanyak 63,95 juta termasuk kategori usaha Mikro setara 99,62%. Sementara usaha Kecil sebanyak 193.959 unit (0,3%), lalu usaha Menengah 44.728 unit (0,07%) dan usaha Besar sebanyak 5.550 unit (0,01%).

"Negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat selfemployment yang lebih rendah, karena lebih banyak pekerja yang dapat bekerja sebagai pegawai di lapangan usaha formal," tulis riset SMERU.

Dengan kata lain, banyaknya jumlah UMKM, terutama yang mikro dan ultra mikro di sebuah negara bisa dibaca sebagai salah satu pertanda bahwa kondisi lapangan kerja di negara tersebut kurang berkualitas dan tidak memadai menyerap kebutuhan masyarakat atas pekerjaan yang lebih layak.

Daya beli lesu

Sempitnya lapangan kerja mengancam daya beli masyarakat. Tanpa pekerjaan layak, masyarakat sulit memperoleh pendapatan yang memadai untuk membantu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bila fenomena ini berlanjut, akan ada tekanan daya beli yang semakin panjang di tengah kelesuan yang sudah terjadi saat ini.

Masyarakat Indonesia saat ini ditengarai tengah menghadapi tekanan daya beli akibat lonjakan harga pangan yang tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan. Fenomena 'makan tabungan' semakin banyak seperti terlihat dalam data-data ekonomi mutakhir.

"Kelompok menengah bawah berupaya untuk mempertahankan pola konsumsi yang sama. Sementara dari sisi pendapatan, belum ada peningkatan penerimaan yang berarti. Yang terjadi, mereka menggunakan tabungan," kata Head of Research Mandiri Institute Teguh Wicaksono. 

Hasil kajian Mandiri Spending Indeks (MSI) November mencatat, indeks tabungan masyarakat menengah-bawah terus tertekan bahkan anjlok ke level terendah dalam hampir dua tahun terakhir. Indeksnya kini ada di 47,4, sudah turun setidaknya 53% dibandingkan 2022 lalu. Tren penurunan itu terjadi sejak awal 2022 hingga saat ini terutama pasca Lebaran lalu yaitu April. Karena tabungan terus terpakai, akhirnya kemampuan belanja atau konsumsi lama-lama bisa terkikis.

Sementara bila mengacu pada data Lembaga Penjamin Simpanan, rekening dengan nominal saldo di bawah Rp100 juta mencatat tren penurunan dalam tiga bulan berturut-turut sejak Juli lalu. 

Lonjakan harga pangan pokok seperti beras, telur, cabai juga gula pasir beberapa waktu belakangan, terlihat semakin menggerogoti daya beli. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada November mencatat kenaikan menjadi 2,86%, kenaikan dua bulan berturut-turut, akibat lonjakan harga pangan seperti cabai-cabaian juga beras.

Sementara inflasi inti, yang sering dibaca sebagai ukuran daya beli masyarakat, pada November lalu tercatat kian landai di 1,87% year-on-year, level terendah yang terakhir terlihat pada Agustus 2020 ketika pandemi melantakkan perekonomian di seluruh dunia. 

Indeks Penghasilan Saat Ini yang memotret persepsi konsumen atas kondisi penghasilan saat ini dibandingkan enam bulan lalu, juga tercatat turun 1,2 poin, penurunan dalam tiga bulan berturut-turut. 

Data-data itu memberi sinyal bahwa masyarakat tengah menghadapi tekanan daya beli di tengah pendapatan yang stagnan bahkan menurun. Ketiadaan lapangan kerja layak yang tersedia dan bisa diakses oleh mayoritas penduduk, bisa melahirkan lebih banyak lagi fenomena 'mantab'.

Tekanan daya beli terindikasi dari lonjakan harga pangan, pada saat yang sama inflasi inti jatuh ke level terendah sejak 2020 (Dimas Ardian/Bloomberg)

Ketika tabungan sudah habis dan pendapatan belum juga mampu mengimbangi kenaikan kebutuhan, pinjaman berbunga mahal seperti pinjol akan semakin banyak diburu. Pada Oktober, nilai pinjaman online tersalur sudah menembus Rp58,05 triliun, naik 17,6% dibanding tahun lalu. Angka kredit macet juga naik mendekati 3%. 

Sebagai gambaran, hampir 20 juta orang di Indonesia masih belum memiliki pekerjaan dan belum bekerja secara layak. Pemerintah mengklaim tingkat pengangguran menurun menjadi 7,89 juta orang.

Namun, bila angka setengah pengangguran dihitung, yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan atau pekerjaan lebih layak, angkanya semakin besar dari tahun ke tahun. Per Agustus 2023, total jumlah penganggur terbuka dan setengah penganggur mencapai 17,2 juta orang. Jumlah itu lebih besar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang mencapai 16,69 juta orang. 

(rui/roy)

No more pages