"Sebetulnya industri nikel ini padat modal sama sekali bukan padat karya. Apalagi pabrik mobil listrik," jelasnya. "Yang bekerja robot. Mekanisme otomatitasi, sehingga sedikit sekali manusia yang bekerja di situ. Akhirnya, dampak ke lapangan kerja jadi minim,"sambungnya.
Terakhir, dia menyebut masalah standar lingkungan hidup di sektor pertambangan maupun smelter jauh dari yang diperlukan. Dia juga menyoroti kebutuhan tanah yang besar untuk menggali nikel beserta dampaknya.
"Terakhir dampak pada lingkungan hidup karena kadar nikel di tanah kita begitu rendah baik aspek penambang nikelnya maupun pengolahan nikelnya," imbuh dia.
"Satu kilogram nikel sama dengan jumlah tanah yang digali atau di proses sangatlah besar. Sementara setelah nikel dikeluarkan dari tanah, tanah itu menjadi racun. Kalau kita mau mengolah agar (tanah) tidak jadi racun itu membutuhkan cost yg besar," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Drajad Wibowo mengklaim bahwa kebijakan hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah sekarang telah dilakukan ketika di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia pada saat itu masih menjabat sebagai seorang Menteri Energi dan Sumber Daya.
"Mungkin saya kilas balik sebentar, kebijakan hilirisasi yang dilaksanakan pemerintah sekarang itu sebenarnya adalah basisnya adalah pada zaman Pak SBY," jelas Drajad.
Di satu sisi dirinya menyebut bahwa Undang Undang (UU) Minerba yang disusun pada era SBY, mengamanatkan negara untuk melakukan hilirisasi sumber daya alam (SDA).
"Itu kebetulan saya anggota pansus di Undang Undang Minerba, kita bikin di situ memerintahkan negara untuk melakukan hilirisasi. Itu perintah undang-undang. Jadi hilirisasi adalah perintah undang undang," tutur dia.
(prc/ezr)