Logo Bloomberg Technoz

Berikut adalah ikhtisar beberapa kemungkinan titik panas isu tahun ini yang penting untuk Anda perhatikan:

Energi adalah senjata

Energi adalah inti dari perang ekonomi yang mengadu AS dan sekutunya melawan Rusia. Kedua belah pihak menjadikan energi sebagai senjata dan potensi gejolak lebih lanjut masih terbuka pada 2023. 

Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkapkan, Rusia tidak akan menjual minyak ke negara manapun yang berpartisipasi dalam batasan harga yang hendak diberlakukan oleh AS dan Kelompok G7. Untuk saat ini, hal itu berarti batas harga US$ 60 per barel. Aturan G7 telah mengakibatkan ekspor minyak mentah Rusia merosot di bawah harga itu, berpotensi menekan kemampuan Putin membiayai perang.

Namun minyak Rusia masih diminati pembeli terutama dari India, China dan Turki. Itu juga terbuka opsi penghentian pasokan sama sekali yang dapat memicu malapetaka di pasar minyak dunia. Bisa-bisa lonjakan harga minyak seperti tahun lalu kembali terjadi dan menyulut inflasi tinggi di mana-mana.

Tidak semua juga tentang minyak. Pembatasan serupa pada produk olahan Rusia seperti diesel yang dimulai pada Februari 2023, dikhawatirkan bisa memicu kelangkaan. Kita menyaksikan penutupan pipa gas alam Rusia telah meninggalkan lubang besar di rantai pasokan global. Beruntung musim dingin di Eropa berlangsung cukup hangat sehingga kelangkaan gas bisa tertahan dan harga listrik juga gas berangsur melandai. Akan tetapi, tahun ini kemungkinan akan terjadi lagi perebutan negara-negara dalam mengunci pengiriman gas alam.

Pertempuran semikonduktor

Semikonduktor, komponen penting dari begitu banyak hal mulai dari mobil listrik hingga rudal balistik, dan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) baru, mengemuka sebagai salah satu medan pertempuran terpenting dalam lanskap ekonomi global.

Selama setahun terakhir, pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden telah berupaya dengan berbagai cara, termasuk pengendalian ekspor, demi mencegah China membeli atau membuat chip tercanggih. Amerika bahkan menggelontorkan program subsidi US$ 52 miliar untuk industri chip dalam negeri agar tidak sampai kehilangan dominasi di lini ini.

AS mengatakan pembatasan yang ia berlakukan ditujukan pada kemampuan militer China. Sementara Beijing berujar, tindakan AS itu adalah bagian dari upaya lebih luas negeri paman sama yang berambisi menghentikan kemajuan ekonomi China. Apapun masalahnya, sekutu AS turut serta agar pembatasan itu bisa berjalan. Belanda dan Jepang, negara di mana berdiri beberapa perusahaan semikonduktor paling maju, telah sepakat.

Kepatuhan negara sekutu AS itu bukan tanpa biaya. Perusahaan produsen chip atau mesin pembuat chip besar kemungkinan kehilangan pasar China yang luas. Sementara itu, Beijing menanamkan uang ke dalam industri semikonduktor domestik dan bisa saja membalas jika pembatasan tersebut diperketat.

Perang melawan Taiwan?

Para pemimpin AS dan Eropa khawatir eskalasi perang dingin lama kelamaan menjadi perang panas, dan itu adalah Taiwan. China telah mengklaim Taiwan sebagai miliknya sejak pemerintah nasionalis yang digulingkan di Beijing melarikan diri ke sana setelah Revolusi Komunis.

Sejauh ini, Pentagon belum melihat tanda-tanda serangan China pada Taiwan akan terjadi. Namun, sejak Ketua DPR AS Nancy Pelosi mendatangi ke Taiwan pada Agustus 2022 dan peningkatan latihan militer, juga tindakan provokatif melalui udara dan lain; potensi eskalasi ketegangan di kawasan tersebut bisa meningkat. Joe Biden menjanjikan akan segera mengirim pasukan AS jika sampai China menginvasi Taiwan.

Di atas segala risiko yang gamblang dari konflik terbuka antar negara adidaya, ada dimensi ekonomi dari kebuntuan tersebut. Taiwan adalah rumah di mana TSMC, produsen chip semikonduktor terbesar di dunia, berdiri. Taiwan sangat penting bagi semua jenis rantai pasokan global. Bahkan eskalasi perang seperti blokade China bisa memicu efek domino yang sangat besar. 

Langkah China melawan Taiwan dan kemungkinan reaksi Barat merupakan faktor-faktor yang diperhitungkan oleh para pebisnis. “Setiap perusahaan memainkan seperti apa sanksinya kelak dan siapa yang akan menjadi sekutu AS,” ujar Tim Adams, Kepala Eksekutif Institut Keuangan Internasional.

“Friendshoring” dan subsidi

Pemerintah di banyak negara makin banyak yang menjadikan subsidi sebagai alat tata negara. Penggelontoran subsidi bisa diartikan sebagai langkah mencegak akses negara pesaing pada barang atau pasar. Di sisi lain, dalam konteks pertahanan, kebijakan itu berarti hanya sekutu terpercaya saja yang dibiarkan mengirimkan pasokan strategis, sebuah gagasan yang dikenal sebagai “friendshoring”.

Toh, antar sekutu bisa berselisih dan yang paling aman tetaplah di rumah sendiri. Itu juga yang mendorong negara-negara meningkatkan subsidi untuk produsen di dalam negeri. Kebijakan subsidi yang sejatinya berkebalikan dari ortodoksi perdagangan bebas yang meminimalkan campur tangan negara, inilah yang memicu gesekan.

AS menghabiskan lebih dari US$ 50 miliar setara Rp 750 triliun untuk meningkatkan produksi chip dalam negeri dan mendukung industri kendaraan listrik, di mana ini menjadi bagian dari rencana anggaran senilai US$ 437 miliar kampanye melawan perubahan iklim. Langkah AS ini membuat Eropa marah dan menuduh AS melakukan praktik perdagangan tidak adil dengan memberi insentif pada perusahaan-perusahaan agar pindah ke AS.

Perlombaan negara-negara dalam memberi subsidi pada akhirnya hanya akan memenangkan negara kaya raya. Yang kalah ujung-ujungnya adalah negara berkembang yang sebenarnya sudah menderita akibat utang.

Kedigdayaan dollar AS

Semakin banyak negara, dan tidak semuanya merupakan musuh AS- yang mencari cara berbisnis tanpa memakai dollar AS. Namun, langkah itu tidak bisa serta merta meruntuhkan kedigdayaan the greenback. 

Pemerintah AS membekukan sekitar US$ 7 miliar setara Rp 150 triliun cadangan bank sentral Afghanistan untuk mencegah uang itu jatuh ke tangan penguasa baru. Sementara itu bersama Uni Eropa, AS mencari cara menyita secara legal cadangan Rusia senilai setengah triliun dollar AS untuk membangun kembali Ukraina. 

Artinya, butuh waktu bertahun-tahun bila hendak menggantikan dollar AS sebagai aset cadangan dunia. Status the greenback sebagai safe haven lagi-lagi menunjukkan tajinya ketika pertama kali perang di Ukraina meletus. Belum ada alternatif lain yang jelas.

Akan tetapi, di antara negara-negara seperti China, Rusia dan Iran, juga India dan raksasa energi di Teluk seperti Arab Saudi, saat ini tengah membangun hubungan perdagangan sendiri yang menghindari dollar AS. Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Arab Saudi pada Desember 2022 membicarakan tentang kesepakatan energi dalam mata uang China. Itu mungkin menjadi pertanda dari datangnya sesuatu berhadap-hadapan dengan dollar AS. 

Risiko bagi AS dan sekutunya ada dua. Pertama, senjata sanksi mereka yang mengandalkan dominasi dollar AS mungkin perlahan akan kehilangan sebagian kekuatan. Kedua, AS dan sekutunya boleh jadi akan menghadapi risiko inflasi lebih tinggi karena kesepakatan perdagangan antara ekonomi non-Barat mengunci komoditas utama dari pasar. Alhasil, itu mendorong kenaikan harga bagi pembeli lain. "Dolar AS adalah kutukan bagi kita semua," kata George Yeo, mantan Menteri Luar Negeri Singapura pada sebuah konferensi pekan lalu. Menurut Yeo, jika kita mempersenjatai sistem keuangan internasional maka akan tumbuh alternatif di luar dollar AS untuk menggantikannya. 

(rui)

No more pages