Tingkat imbal hasil itu naik lagi dalam lelang kedua di mana yield diberikan masing-masing sebesar 5,61% dan 5,63%. Sementara dalam lelang terakhir yang digelar kemarin, tingkat imbal hasil semakin tinggi mencapai 5,65% dan 5,68% untuk masing-masing tenor.
Tingkat imbal hasil itu bahkan jauh melampaui yield acuan surat utang RI berdenominasi dolar AS, INDON tenor terpanjang 30 tahun yang saat ini masih di kisaran 5,42%. BI akhirnya hanya menyerap US$ 48,9 juta dalam lelang SVBI kemarin, jauh lebih rendah daripada target yang dipatok di angka US$ 100 juta.
Perebutan dana
Gelar lelang SVBI kemarin memang berlangsung di hari yang sama dengan lelang sukuk negara alias SBSN. Bila SVBI lesu peminat, hal sebaliknya terjadi di sukuk rupiah. Animo pasar melesat tinggi hingga mencatat nilai penawaran masuk hampir Rp20 triliun. Pemerintah akhirnya memenangkan sebanyak Rp9,14 triliun dalam lelang SBSN, lampaui target indikatif.
Yang menarik, untuk tenor pendek seri SPNS yang jatuh tempo Juni 2024 banyak sekali diminati pelaku pasar dengan mencatat bidding hingga Rp6,05 triliun, menjadikannya sebagai seri yang paling diincar dalam lelang kemarin. Pemerintah pun akhirnya menyerap permintaan di tenor ini cukup besar hingga Rp2 triliun dengan tingkat imbal hasil 6,25%.
Tersedotnya minat pasar ke lelang sukuk ketimbang SVBI, menurut bank sentral adalah dampak dari mulai kondusifnya pasar keuangan global saat ini, bukan menjadi cerminan terjadinya crowding out alias perebutan likuiditas antara BI dan pemerintah.
Sentimen global yang mulai membaik mendorong minat pemodal ke aset rupiah ketimbang sekuritas valas seperti SVBI, selain karena faktor imbal hasil yang lebih tinggi.
"Untuk pelaku atau investor asing, dengan sentimen global yang lebih kondusif di mana mendorong adanya sentimen risk-on, mereka kelihatannya appetite-nya lebih ke aset dengan denominasi rupiah (local currency assets) seperti SBN dan SRBI. Hal tersebut tercermin pembelian asing di jenis aset tersebut mengalami peningkatan, bahkan mendorong kenaikan capital inflow. Saya milihat hal itu sangat baik di mana pelaku asing diberikan pilihan apakah suka ke aset rupiah atau aset dalam valas," jelas Edi panjang lebar.
Analis sempat memperingatkan risiko terjadinya perebutan likuiditas di pasar menyusul langkah BI melansir beberapa sekuritas baru seperti Sertifikat Rupiah BI (SRBI), SVBI juga sukuk valas SUVBI. Beberapa waktu lalu, dengan tingkat imbal hasil SRBI sudah di 7% dan tidak berbeda dengan yield SUN 10 tahun.
"Fenomena ini merupakan fenomena 'crowding-out' karena BI, Kementerian Keuangan, dan perbankan bersaing mendapatkan likuiditas," kata Satria Sambijantoro dan Drewya Cinantyan, ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang diterima, Jumat (3/11/2023).
Lebih lanjut analis memperingatkan, bunga SRBI yang terus tinggi di tengah periode di mana kebijakan bunga acuan sudah tinggi bisa mempengaruhi fleksibilitas kebijakan Bank Indonesia dalam jangka panjang. Penerbitan SRBI, menurut perhitungan Bahana Sekuritas, bisa meningkatkan beban bunga di neraca bank sentral hingga Rp4,6 triliun pada 2024 nanti.
Sementara saat ini yield SUN 10 tahun sudah melandai di 6,54%, sedangkan SRBI tenor 12 bulan dalam lelang terakhir 1 Desember lalu memberikan yield 6,91%, lebih tinggi ketimbang yield SUN terpanjang 30 tahun yang kini di 6,88%.
Sedikit kilas balik, di era kepemimpinan Gubernur BI Darmin Nasution dan Gubernur BI Agus Martowardojo, instrumen jangka pendek seperti SRBI pernah diterbitkan dengan nama Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, instrumen moneter itu akhirnya dihapuskan karena membebani neraca bank sentral akibat bunga yang tinggi.
(rui/roy)