Logo Bloomberg Technoz

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pendapatan, biaya, dan investasi BUMN telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian pada 10 objek pemeriksaan, dan tidak sesuai kriteria pada satu objek pemeriksaan. 

Berikut daftar temuan BPK terhadap 11 BUMN dan anak usahanya menurut laporan IHPS I 2023:

  • PGN

Pemberian uang muka perikatan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) sebesar US$15 juta oleh PGN kepada PT Inti Alasindo Energy (IAE) tidak didukung dengan mitigasi risiko memadai. Pertama, tidak mengacu pada kajian tim internal. Kedua, tidak didukung dengan jaminan yang memadai. Ketiga, tidak memperhatikan kebijakan pemerintah atas larangan transaksi gas secara bertingkat. Keempat, tidak melalui analisis keuangan dan kesepakatan yang memadai.

Akibatnya, sisa uang muka sebesar US$14,19 juta berpotensi tidak tertagih yang dapat membebani keuangan perusahaan.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PGN untuk mengoptimalkan pemulihan piutang uang muka kepada IAE US$14,19 juta, dan berkoordinasi dengan Direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum.

  • PLN 

PLN belum sepenuhnya menerapkan tarif layanan khusus sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM kepada pelanggan premium. Tarif yang dikenakan saat ini menggunakan tarif reguler ditambah nilai layanan premium yang mengakibatkan PT PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp5,69 triliun pada uji petik tahun 2021.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direktur Utama PLN segera menerapkan tarif kepada pelanggan premium secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Secara terpisah, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto menyampaikan PLN telah menindaklanjuti sesuai rekomendasi yang diberikan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, terkait pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti terkait PLN adalah mengenai pengenaan tarif untuk keperluan layanan khusus (Tarif L) berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  Nomor 28 Tahun 2016 dan hal tersebut sudah ditindaklanjuti sesuai rekomendasi. 

Sebelumnya kebijakan tarif Layanan Khusus cukup beragam disesuaikan dengan kekuatan daya beli dan standar pelayanan dimasing-masing golongan tarif.  Untuk itu PLN menindaklanjuti hasil rekomendasi BPK dengan implementasi yang dilaksanakan secara bertahap sampai dengan akhir tahun. 

Selain itu ketentuan mengenai Layanan Khusus sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah diturunkan melalui Peraturan Pelaksana di PLN berupa pelaksanaan kebijakan single tarrif  layanan prioritas di mana hal tersebut mengakomodir kebutuhan pelanggan di semua golongan tarif. 

“PLN pun mengapresiasi langkah-langkah BPK RI yang terus memberikan rekomendasi guna perbaikan kinerja dan operasional perseroan, demi meningkatkan layanan yang prima kepada pelanggan,” ungkapnya.

  • Telkom 

Perusahaan belum menerima pengembalian pokok, bunga, dan denda sampai Desember 2022 sebesar Rp459,29 miliar dari PT PINS Indonesia, anak usaha Telkom, atas pinjaman melalui bridge financing pada 2018. Pinjaman tersebut digunakan untuk membiayai program sinergi new sales broadband Telkomsel yang diusulkan PT Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). 

Hasil pemeriksaan menunjukkan permasalahan yakni: Pertama, Telkom belum menerima pengembalian pokok, bunga, dan denda pinjaman bridge financing dari PINS. Kedua, tujuan pemberian bridge financing untuk sinergi new sales broadband tidak tercapai. Ketiga, belum ada mitigasi yang memadai atas risiko bridge financing dan transaksi sinergi. Keempat, beberapa ketentuan terkait dengan bridge financing belum terpenuhi, seperti ketiadaan dokumen persetujuan Direktur Keuangan Telkom atas pemenuhan kebutuhan bridge financing dan ketiadaan analisa kelayakan proyek.

Selain itu, PINS belum memperoleh pembayaran dari customer atas penjualan e-voucher dan handset pada program new sales broadband tahun 2019 dengan sisa piutang sebesar Rp295,60 miliar, dan diketahui perusahaan mitra dan konsumen terafiliasi dengan TMI sehingga terdapat kemungkinan konflik kepentingan. Akibatnya, PT Telkom menanggung kerugian sebesar Rp459,29 miliar atas dana bridge financing yang belum dibayar oleh PINS dan PINS menanggung kerugian keuangan sebesar Rp295,60 miliar atas pembayaran yang belum diterima dari customer. 

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi Telkom memerintahkan Direksi PINS untuk memperbaiki tata kelola perusahaan, menagih secara optimal dan mengambil upaya hukum. Kemudian, memberi sanksi kepada Direksi PINS dan Vice President Strategic Planning & Investment Telkom, serta berkoordinasi dengan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada penegak hukum.

  • Bio Farma

Target penjualan Vaksinasi Gotong Royong (VGR) untuk Covid-19 sebanyak 7,5 juta dosis oleh PT Bio Farma tidak tercapai, karena adanya perubahan kebijakan vaksin gratis dari pemerintah yang mengakibatkan VGR tidak diminati dan skema pendistribusian VGR ditunda.

Per 30 November 2022, terdapat VGR yang belum terdistribusi sebanyak 3.208.542 dosis dengan nilai Rp525,18 miliar yang hampir melewati batas kedaluwarsa di tahun 2023. Akibatnya, persediaan VGR yang kedaluwarsa tahun 2023 berpotensi membebani keuangan PT Bio Farma minimal sebesar Rp525,18 miliar.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi Bio Farma berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian BUMN untuk melakukan upaya-upaya yang optimal dalam memastikan adanya penyerapan VGR dengan memperhatikan masa kedaluwarsa vaksin tersebut dalam rangka meminimalkan terjadinya kerugian perusahaan.

  • Pertamina International Marketing and Distribution Pte. Ltd. (PIMD)

PIMD melakukan penjualan kargo kepada Phoenix Petroleum Philippines Inc. (PPPI) tanpa melalui analisis risiko yang memadai dan tidak memastikan kontrak penjualan ditandatangani oleh PPPI. Hal tersebut mengakibatkan PIMD berpotensi menanggung kerugian atas tidak tertagihnya piutang kepada PPPI US$124,53 juta dan PIMD kehilangan kesempatan memperoleh denda sebesar US$26,60 juta serta terbebani bunga Letter of Credit (LC) loan per 31 Desember 2021 sebesar US$868,27 ribu.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT Pertamina Patra Niaga (PPN) memerintahkan Managing Director PIMD untuk menagih piutang kepada PPPI dan mengenakan denda maksimal kepada PPPI. Selain itu, berkoordinasi dengan Dewan Komisaris PPN dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum.

  • PIMD

Pembelian PIMD atas tiga unit kapal tongkang bekas kepada Hong Lam yang bernama MT Eager, MT Isselia, dan MT Zemira senilai total US$20,08 juta tidak sesuai dengan tujuan investasi untuk mendapatkan lisensi sebagai Bunkering Supplier dan memiliki keekonomian investasi negatif. Terdapat indikasi pengaturan dalam pemilihan konsultan appraisal. Permasalahan tersebut mengakibatkan tujuan investasi tidak tercapai dan indikasi kerugian PIMD US$20,08 juta atas pembelian 3 unit kapal barge.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Dewan Komisaris PPN menginstruksikan kepada Direktur Utama, Direktur Keuangan, dan Direktur Perencana Pengembangan Bisnis PPN Periode 2021 sebagai gerbang pengambil keputusan yang tidak cermat dalam menyetujui usulan investasi untuk mempertanggungjawabkan kepada pemegang saham melalui RUPS. Selain itu, berkoordinasi dengan Kementerian BUMN untuk menginvestigasi permasalahan ini dan melaporkan kepada aparat penegak hukum bila ditemukan adanya unsur fraud.

  • PT Bima Sepaja Abadi (BSA)

BSA merupakan anak perusahaan PT Semen Padang, cucu usaha PT Semen Indonesia Grup (SIG). Dalam pelaksanaan kerja sama bisnis, BSA tidak melakukan proses studi kelayakan atas mitra dan proyek yang dikerjasamakan. Permasalahan terkait hal tersebut yakni: Pertama, kerja sama atas empat pekerjaan dengan penyedia jasa PT ETB dan PT PIL dilakukan dengan pemberian modal kerja kepada mitra. Atas pekerjaan tersebut mitra menyerahkan cek kepada BSA dengan total sebesar Rp4,22 miliar, namun pada saat jatuh tempo cek tersebut tidak dapat dicairkan.

Kedua, kerja sama bisnis fiktif antara BSA dengan PT ATL dan CV AL, di mana PT BSA telah membayar kepada CV AL sebesar Rp101,26 miliar, namun BSA baru menerima pembayaran dari PT ATL sebesar Rp73,64 miliar. Sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp27,62 miliar dan keuntungan yang seharusnya diterima sebesar Rp14,95 miliar, atau seluruhnya Rp42,57 miliar.

Untuk mendanai kerja sama tersebut, PT BSA menggunakan fasilitas Kredit Modal Kerja dari BNI. Permasalahan dalam kerja sama dengan PT ATL dan CV AL berdampak pada ketidakmampuan PT BSA untuk membayar utang jatuh tempo kepada BNI, sehingga PT BSA mengajukan share holder loan (SHL) kepada PT SP. Atas peminjaman tersebut, PT BSA harus menanggung utang pokok SHL kepada PT SP sebesar Rp19,60 miliar dan bunga SHL sebesar Rp2,90 miliar.

Ketiga, terdapat kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pekerjaan dan biaya jasa notaris dengan total sebesar sebesar Rp2,75 miliar pada pekerjaan Proyek SPBU di Setu – Bekasi.

Permasalahan tersebut mengakibatkan potensi kerugian atas penyelesaian piutang usaha kepada PT PIL dan PT ETB Rp4,22 miliar. Kemudian, indikasi kerugian Rp42,57 miliar atas kerja sama bisnis antara PT BSA dengan PT ATL dan CV AL. Selain itu, ada potensi kerugian PT SP atas utang pokok SHL dan bunga SHL PT BSA kepada PT SP Rp22,50 miliar. Adapula kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pembangunan SPBU dan biaya jasa notaris sebesar Rp2,75 miliar.

BPK merekomendasikan kepada Direksi SIG, selaku holding BUMN industri semen untuk menginvestigasi kerja sama bisnis BSA dan seluruh aspek atas temuan pemeriksaan untuk menentukan dugaan pelanggaran atau permasalahan hukum. Kemudian, Direksi Semen Padang melakukan kajian bisnis mengenai layak atau tidaknya atas keberlangsungan dan keberadaan BSA sebagai anak usaha. Terakhir, memerintahkan Direksi BSA untuk menetapkan kebijakan terkait prosedur kerja sama.

  • Waskita Karya

Piutang usaha dan tagihan bruto pada anak perusahaan Waskita Karya, yaitu PT Waskita Beton Precast (WSBP) berpotensi tidak tertagih, dengan permasalahan di antaranya: Pertama, pembangunan Jalan Tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar (KLBM) seksi-4 yang dilaksanakan oleh PT WSBP mengalami penghentian karena sedang dilakukan kajian ulang kelayakan. PT WSBP belum dapat menagihkan pembayaran atas kemajuan fisik sebesar 69,57% atau sebesar Rp781,51 miliar yang terdiri atas, pekerjaan fisik Rp1,73 miliar dan material on site (MOS) Rp779,77 miliar, karena berdasarkan kontrak, pembayaran dapat dilakukan apabila kemajuan pekerjaan telah mencapai 100%.

Kedua, pengadaan material tetrapod untuk pengaman pantai senilai Rp436,80 miliar dilaksanakan berdasar surat perjanjian pemesanan material dari PT STL. Tetrapod tersebut telah diproduksi sebanyak 265.785 buah, dan disimpan pada lokasi stock yard milik PT WSBP. Namun, sampai dengan berakhirnya kontrak, PT STL belum melakukan pembayaran atas pengadaan tetrapod, sehingga PT WSBP mengambil tindakan hukum. Permasalahan tersebut mengakibatkan piutang usaha Rp436,80 miliar berpotensi tidak tertagih, tagihan bruto sebesar Rp781,51 miliar belum dapat ditagih, dan PT WSBP masih menanggung biaya sewa dan beban bunga terkait dengan MOS Rp142,11 miliar. 

BPK merekomendasikan Direksi PT WSBP agar mengintensifkan mediasi kepada para pemberi kerja sehingga tagihan bruto atas prestasi fisik sebesar Rp1,73 miliar dapat segera diproses untuk ditagih. Selain itu, melakukan kajian dan tindakan untuk memperjelas status MOS sebesar Rp779,77 miliar. Terakhir, melakukan kajian risiko atas rencana penagihan piutang usaha sebesar Rp436,80 miliar termasuk rencana pemanfaatan atau penjualan kembali tetrapod yang telah diproduksi.

Bloomberg Technoz berupaya mengkonfirmasi Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Sinulingga terkait laporan BPK. Namun, sampai artikel ini dipublikasikan, Arya belum memberi tanggapan.

(lav)

No more pages