"Aksi boikot perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah berdasarkan latar belakang perlindungan kepentingan nasional untuk menciptakan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif dengan mengarusutamakan perlindungan kepentingan nasional," kata Pelaksana Tugas Harian Ketua Umum Kadin Indonesia, Yukki N. Hanafi, dalam sebuah pernyataan, pekan lalu.
Para pengusaha menilai, aksi boikot yang marak bisa memicu kerugian dunia usaha karena berdampak langsung pada sektor usaha yang beroperasi di Indonesia. "Dan menyerap tenaga kerja Indonesia yang menggantungkan nafkah pada perusahaan-perusahaan yang diduga terafiliasi dengan pihak yang terlibat konflik di Palestina," jelas Yukki.
Daya beli melemah
Memasuki bulan terakhir 2023, perekonomian domestik menyaksikan indikasi tekanan daya beli di masyarakat. Inflasi inti, yang sering dibaca sebagai ukuran daya beli masyarakat, pada November lalu tercatat kian landai di 1,87% year-on-year, level terendah yang terakhir terlihat pada Agustus 2020 ketika pandemi melantakkan perekonomian di seluruh dunia. Angka itu juga semakin menjauhi batas bawah target Bank Indonesia (BI) tahun ini di kisaran 2%-4%.
Pada saat yang sama, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada November mencatat kenaikan menjadi 2,86%, kenaikan dua bulan berturut-turut, akibat lonjakan harga pangan seperti cabai-cabaian juga beras.
Lonjakan harga pangan ini diduga telah semakin menekan daya beli masyarakat Indonesia. Hasil kajian Mandiri Spending Indeks (MSI) November mencatat, indeks tabungan masyarakat menengah-bawah terus tertekan bahkan anjlok ke level terendah dalam hampir dua tahun terakhir. Indeksnya kini ada di 47,4, sudah turun setidaknya 53% dibandingkan 2022 lalu.
Nilai tabungan masyarakat kelompok menengah bawah dengan saldo di bawah Rp1 juta terlihat terus menurun sejak awal 2022 hingga saat ini terutama pasca Lebaran lalu. Ada dugaan, lonjakan harga pangan tidak bisa diimbangi oleh peningkatan pendapatan sehingga tabungan lama-lama terpakai untuk menutup kebutuhan.
"Kelompok menengah bawah berupaya untuk mempertahankan pola konsumsi yang sama. Sementara dari sisi pendapatan, belum ada peningkatan penerimaan yang berarti. Yang terjadi, mereka menggunakan tabungan," kata Head of Research Mandiri Institute Teguh Wicaksono.
Fenomena itu juga terlihat dari data distribusi simpanan yang dilansir oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Terjadi penurunan nilai simpanan untuk rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta, berturut-turut sejak Juli lalu hingga September.
Beberapa barang kebutuhan memang jauh lebih mahal saat ini dibandingkan setahun lalu atau bahkan saat pandemi masih meraja. Harga LPG non-subsidi ukuran 5,5 kilogram dan 12 kilogram, misalnya, naik tajam hingga tiga kali sejak Desember 2021. Kini, di tingkat konsumen harga LPG non-subsidi yang semula di kisaran Rp160.000 untuk ukuran 12 kilogram, saat ini sudah jauh lebih mahal di Rp276.000.
Bukan cuma itu, harga beras juga luar biasa kenaikannya, di mana untuk beras 5 kilogram yang tadinya bisa ditebus di supermarket di kisaran harga Rp60.000 kini sudah di Rp70.000 hingga Rp85.000. Belum lagi bila ditambah kenaikan harga barang dapur lain mulai dari gula pasir, telur, sampai cabai-cabaian.
Lonjakan harga barang kebutuhan pokok yang tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan, alhasil membuat animo pembelian barang tahan lama seperti kendaraan bermotor ikut terdampak. Penjualan mobil ritel pada bulan Oktober 2023 mencapai 79,5 ribu unit, terkontraksi sebesar 11,4% year-on-year. Sementara penjualan sepeda motor juga hanya mencapai 516,2 ribu unit, terkontraksi sebesar 4%.
(rui/roy)