Seperti yang diwartakan Bloomberg News, pengguntingan tingkat suku bunga acuan akan terjadi pada 2024. Hampir 125 basis poin pelonggaran sudah diperkirakan pada pertemuan The Fed pada Desember tahun depan, setara dengan sekitar lima pemotongan seperempat poin.
“Risiko jangka pendek terbesar bagi pasar adalah setelah reli satu bulan yang fenomenal, periode konsolidasi mungkin merupakan jeda yang diperlukan,” kata Jason Draho dari UBS Global Wealth Management.
“Banyak kabar baik yang sudah diperkirakan, dan investor melihat sedikit risiko penurunan yang akan terjadi, membuat pasar rentan terhadap kekecewaan sekecil sekalipun,” tambah Draho.
Tim Research Phillip Sekuritas Indonesia memaparkan, fokus perhatian investor akan tertuju pada rilis data Non-Farm Payrolls (NFP) AS pada hari Jumat nanti. Investor berharap data NFP keluar cukup solid untuk mendukung skenario soft landing namun tidak terlalu solid sehingga mengancam peluang pelonggaran kebijakan moneter.
“Pelaku pasar meramalkan bahwa NFP bertambah 180.000 di bulan November dengan Tingkat Pengangguran yang stabil di 3,9%,” mengutip riset harian Tim Research Phillip Sekuritas.
Data NFP yang keluar memperlihatkan penambahan lapangan kerja yang tidak terlalu jauh di atas ekspektasi akan memperkuat pandangan bahwa tren kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan berakhir dengan perlambatan ekonomi (soft landing) tanpa adanya penurunan tajam pada aktivitas ekonomi.
Pasar kontrak berjangka (futures) saat ini melihat 71% peluang Federal Reserve akan melonggarkan kebijakan moneter paling cepat bulan Maret 2024, naik dari 21% minggu lalu dan memprediksi penurunan suku bunga acuan sekitar 135 bps di tahun 2024.
Sebagai sentimen lanjutan, harga minyak turun untuk sesi ketiga berturut-turut, dipicu skeptisisme yang berkelanjutan terhadap efektivitas pengurangan pasokan OPEC+.
West Texas Intermediate (WTI) melemah 1,4% mendekati US$73 per barel, menyusul pelemahan dalam enam minggu.
Minyak telah mencatat penurunan bulanan berturut-turut karena pasokan dari luar produksi OPEC membengkak, sementara prospek pertumbuhan permintaan melemah.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana memaparkan, IHSG menguat 0,5% ke 7.094 dan disertai dengan munculnya volume pembelian.
“Penguatan IHSG telah mengenai target ideal yang kami berikan, waspadai akan adanya koreksi pada IHSG, di mana saat ini diperkirakan IHSG sudah berada di akhir wave v dari wave (i) dari wave [iii],” papar Herditya dalam risetnya pada Selasa (5/12/2023).
Herditya juga memberikan catatan, adapun area koreksi IHSG terdekatnya diperkirakan berada di 6.954-7.029 untuk membentuk wave (ii) dari wave [iii] pada label hitam.
Bersamaan dengan risetnya, Herditya merekomendasikan saham-saham ASSA, BBCA, ESSA dan UNVR.
Kemudian, Analis Phintraco Sekuritas memaparkan, IHSG berpotensi melaju di dalam trading range 7.050-7.150 di Selasa (5/12) menyusul Indeks-indeks Wall Street melemah di perdagangan semalam.
“Potensi penguatan lanjutan pada saham bank-bank big cap kemungkinan kembali menopang IHSG di Selasa (5/12). Level 7.100 diperkirakan menjadi pivot level di Selasa. Support di 7.050 dan resistance di 7.150,” tulisnya.
Melihat hal tersebut, Phintraco merekomendasikan saham BBCA, BBRI, BBNI dab BMRI yang masih berpeluang lanjutkan penguatannya secara teknikal di Selasa.
Disamping saham bank tersebut, dapat mencermati peluang speculative buy pada saham AMMN, AKRA dan trading buy pada UNTR, serta BRIS.
(fad/wdh)