Data-data itu telah memangkas kekuatan dolar AS di mana indeks sempat menyentuh 107, tertinggi sejak November 2022, berangsur turun dan sepanjang bulan lalu bergerak di kisaran 104,6. Tingkat imbal hasil investasi AS juga terkikis dari yang tadinya melampaui 5%, tertinggi sejak 2007, turun hingga sempat menyentuh 4,2%.
Kekuatan dolar yang terkikis, memberi ruang bagi mata uang yang menjadi lawannya untuk kembali menguat, termasuk rupiah. Pergerakan rupiah juga lebih dominan disetir oleh sentimen global dan pergerakan the greenback alih-alih faktor lain.
Kedua, langkah BI menaikkan tingkat bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo (BI7DRR) secara mengejutkan pada akhir Oktober lalu menjadi 6%. Meski kebanyakan analis melihat langkah itu adalah respon reaktif karena rupiah sudah nyaris menjebol Rp16.000/US$ bulan lalu, sedikit banyak kebijakan tersebut melansir sinyal hawkish yang memberi kepercayaan bagi para pemodal asing untuk kembali masuk terutama ke pasar surat utang (SBN) dan berburu sekuritas baru yang dilansir BI yaitu Sekuritas Rupiah BI (SRBI), Sekuritas Valas BI (SVBI) dan Sukuk Valas (SUVBI).
Catatan Bank Indonesia, terjadi net inflows atau aliran masuk modal asing ke pasar domestik sebesar US$ 2,6 miliar sampai data tanggal 21 November lalu. Investor asing di pasar SBN sepanjang tahun ini hingga data setelmen 23 November mencatat posisi beli neto Rp62,54 triliun, sedangkan di SRBI sebanyak Rp27,14 triliun. Sementara di pasar saham, asing masih mencatat jual neto Rp17,8 triliun.
Mulai kembalinya investor asing masuk tak ayal membuat rupiah makin perkasa selama bulan lalu. Premi risiko investasi RI makin melandai di mana selama November bergerak di kisaran 81,37, dibandingkan bulan sebelumnya yang bergerak jauh lebih tinggi di kisaran 98,44.
Prediksi Desember
Rupiah mungkin bisa melanjutkan keperkasaan bulan ini dengan semakin pudarnya sentimen pemberat utama yakni prospek bunga acuan AS.
Beberapa data terbaru dari Amerika semakin mengukuhkan skenario bahwa puncak bunga Federal Reserve (The Fed) sudah tersentuh di 5,5%. Pelaku pasar meyakini The Fed akan mulai memangkas bunga acuan pada Maret 2024 dengan probabilitas mencapai 50%, naik dibandingkan sepekan lalu yang masih 30%. Sementara probabilitas pemangkasan bunga acuan pada Mei mencapai 78,4%, naik dari sebelumnya 54%.
Dari dalam negeri, lonjakan inflasi yang mulai muncul bulan lalu akibat tekanan harga kelompok pangan bergejolak, mungkin akan membuat bunga acuan BI7DRR bertahan di level tinggi lebih lama tahun depan. Inflasi yang tinggi akan mengikis tingkat inflasi riil dan membuat aset rupiah berkurang pamor.
Ini yang menjelaskan mengapa terjadi penjualan obligasi tenor pendek beberapa waktu lalu di mana saat ini SBN tenor 2 tahun memiliki yield 6,49%.
Rupiah bisa melanjutkan keperkasaan didukung animo asing yang diperkirakan akan lanjut deras setelah mulai kembali bulan lalu.
Sentimen penurunan bunga The Fed lebih cepat tahun depan akan membuat daya tarik aset emerging market naik, termasuk rupiah.
Terlebih selain SBN kini ada tiga sekuritas baru yang bisa disasar oleh investor asing di pasar sekunder. Yaitu, SRBI, SVBI dan SUVBI. Ketiganya memberikan imbal hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan SBN tenor panjang.
Dalam lelang pekan lalu, BI mengantongi valas setidaknya sebesar US$392,6 juta dari lelang SVBI dan SUVBI. Sementara dari lelang SRBI, BI sudah meraup valas segar sedikitnya sebanyak Rp169 triliun sampai 21 November lalu. SRBI dalam lelang terakhir memberikan bunga diskonto hingga 6,86% untuk tenor terpanjang 12 bulan, setara dengan yield SUN/INDOGB tenor 7 tahun.
Sedangkan SVBI dan SUVBI dalam lelang terakhir memberikan imbalan 5,63% untuk tenor 3 bulan. Di mana tingkat imbalan itu bahkan melampaui yield INDON tenor terpanjang 30 tahun yang sampai siang ini terpantau di kisaran 5,57%.
(rui/aji)