“Jadi ini case by case dilakukan analisis terhadap nilai keekonomiannya.”
Ketiga, masalah pemanfaatan ruang laut yang dipungut setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Regulasi tersebut masih belum dijalankan, tetapi SKK Migas mengakui keberatan dengan rencana tersebut.
“Kami mengusulkan dukungan dari Komisi VII supaya untuk eksplorasi migas, janganlah dipungut dahulu PNBP-nya. Nanti kalau ada ketemu cadangan dan bisa diproduksikan, baru dimasukkan hitung-hitungannya untuk pembayaran, karena eksplorasi kan belum jelas [ketahuan jumlah cadangan migasnya]. Nanti kalau enggak ketemu, ya maka hangus dan itu tentu kami harapkan tidak dikenakan PNBP dahulu. Ini juga menjadi kendala,” tutur Dwi.
Keempat, masalah tumpang tindih lahan dengan fasilitas migas. Menurut Dwi, isu ini kerap terjadi di lapangan sehingga upaya pengeboran sumur minyak menjadi tertunda bahkan tidak bisa dilaksanakan.
Tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan konservasi tersebut misalnya terjadi di Taman Nasional Zamrud di WK CPP; Dangku di WK Corridor; Sultan Taha di WK South Betung; Tasik Tanjung Padang di WK Malacca Strait; dan Bukit Soeharto di WK Sanga Sanga.
“Kami mengharapkan – karena ini berkaitan dengan ketahanan energi – ada ketentuan yang memberi prioritas pada fasilitas migas dalam pemanfaatan lahan. Kami meminta dukungan untuk mempercepat pemanfaatan ini,” ujarnya.
Kelima, masalah revisi UU Migas dan aturan turunannya termasuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 27/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Salah satu isunya, sebut Dwi, adalah ihwal PPN tertuang serta pembebasan bea masuk (BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) sampai masa akhir kontrak. Lalu juga pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB), tambahan persentase bagi hasil atau gross split, dan sebagainya.
“Kemudian, menghilangkan batas waktu 6 bulan untuk Revisi PP 27. Tadinya, kalau ada KKKS yang mau memanfaatkan PP 27 ini hanya diberi waktu 6 bulan dan ini kemudian banyak yang terlambat sehingga tidak bisa memanfaatkan insentifnya,” papar Dwi.
Keenam, masalah integrasi infrastruktur gas. Dalam kaitan ini, Kementerian ESDM terus memperjuangkan pembangunan pipa gas dari Sei Mangkei ke Dumai, serta dari Cirebon ke Semarang.
Sampai dengan 2030, lanjutnya, pemerintah akan terus memacu investasi hulu migas untuk LTP. Adapun, distribusi investasi akan ditujukan untuk eksplorasi, pengembangan, produksi, dan administrasi.
Namun, Dwi tidak menampik salah satu hal yang menjadi sorotan SKK Migas belakangan ini adalah isu rendahnya investasi eksplorasi yang hanya mencapai US$0,5 miliar—US$0,6 miliar dalam beberapa tahun terakhir.
“Namun, pada 2022 sudah ada kenaikan, meski kecil, menjadi US$0,7 miliar, dan pada 2023 diharapkan naik menjadi US$0,9 miliar. Jadi kalau dibandingkan dengan 2018 atau 2020, ini kenaikan yang cukup besar, mencapai 50%. Kami harap menghasilkan dampak yang signifikan.”
Dia pun menyebut daya tarik investasi hulu migas juga sudah mulai mengalami perbaikan. Saat ini peringkat daya tarik investasi hulu migas RI menurut S&P Global berada di posisi 5,3.
Secara terperinci, faktor-faktor yang memengaruhi daya tarik investasi tersebut antara lain legal dan kontrak 5,34; sistem fiskal 5,11; risiko migas 5,4; serta aktivitas dan kesuksesan 5,25.
(wdh)