BI melaporkan uang beredar dalam arti luas (M2) tumbuh 3,4% yoy pada Oktober. Jauh lebih rendah dibandingkan September yang tumbuh 6% yoy.
Sementara pertumbuhan penyaluran kredit perbankan memang mengalami stagnasi. Pertumbuhan kredit pada Oktober tercatat sebesar 8,7% year-on-year (yoy), sama dengan bulan sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan kredit dalam 10 bulan pertama 2023 adalah 9,19%, sama dengan periode yang sama tahun lalu.
Penyaluran kredit terhadap korporasi tumbuh 8% yoy pada Oktober. Lebih rendah dibandingkan September yang tumbuh 8,3% yoy.
Kredit Modal Kerja (KMK) tumbuh 8% yoy pada Oktober, melambat dari bulan sebelumnya yang naik 8,3% yoy. Sedangkan Kredit Investasi (KI) naik 9,4% yoy, juga melambat dari September yang tumbuh 9,8% yoy.
Benarkah Bank 'Parkir' Uang di Surat Berharga?
Berbagai data tersebut memang memperlihatkan perbankan rasanya agak ‘malas’ menyalurkan kredit ke sektor rill. Akan tetapi, apakah betul perbankan lebih memilih untuk ‘parkir’ uang di surat berharga?
Sepertinya asumsi itu belum terbukti. Sebagai contoh, kepemilikan perbankan di SBN menunjukkan penurunan yang stabil.
Per 28 November, nilai kepemilikan SBN oleh perbankan adalah Rp 1.571,2 triliun. Turun 2,2% dibandingkan posisi awal November.
Dibandingkan awal 2023, nilainya berkurang hampir 13%.
Lalu apa yang menyebabkan kredit perbankan belum bisa tumbuh tinggi? Sepertinya itu lebih disebabkan situasi ekonomi yang memang belum kondusif.
Hasil Survei Permintaan dan Penawaran Pembiayaan Perbankan edisi Oktober 2023 menyebutkan, kebutuhan pembiayaan atau kredit korporasi memang masih tumbuh. Terlihat dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang pada Oktober sebesar 15,7%. Namun memang melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 16,1%.
“Perlambatan kebutuhan pembiayaan yang terjadi terutama sebagai dampak penurunan kegiatan operasional karena lemahnya permintaan domestik dan ekspor,” ungkap laporan BI.
Jadi, kelesuan ekonomi domestik dan global lebih menjadi penyebab mengapa korporasi tidak agresif dalam mengakses pembiayaan. Untuk apa ekspansif jika permintaan turun?
Sikap dunia usaha yang cenderung menahan diri tercermin dalam data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang mengukur aktivitas manufaktur. S&P Global melaporkan PMI Indonesia sebesar 51,5 pada Oktober.
PMI di atas 50 menandakan sektor manufaktur sedang di zona ekspansi, bukan kontraksi. Aktivitas manufaktur Tanah Air sudah 26 bulan beruntun menempati teritori ekspansi.
Namun, angka PMI manufaktur turun dibandingkan September yang 52.5. PMI manufaktur 51,5 juga menjadi yang terendah sejak Mei atau 5 bulan terakhir.
“Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan produksi. Meski masih solid, laju pertumbuhannya adalah yang terlemah dalam 4 bulan terakhir,” sebut keterangan resmi S&P Global.
Perlambatan pertumbuhan produksi adalah imbas dari penurunan pertumbuhan penjualan. Beberapa pengusaha mengaku ada penurunan permintaan pada Oktober. Sementara permintaan ekspor juga masih menurun.
Penurunan kapasitas produksi membuat rekrutmen pekerja turun pada Oktober, dan menjadi penurunan pertama sejak Juni 2022.
“Data PMI mengindikasikan sektor manufaktur Indonesia masih mengalami ekspansi. Akan tetapi, tanda-tanda perlambatan makin terlihat.
“Level keyakinan dunia usaha pun menurun. Sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan penjualan, dunia usaha mulai mengurangi jumlah pekerja yang mencerminkan keputusan bisnis menjadi lebih konservatif,” papar Jingyi Pan, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence.
(aji/lav)