Bloomberg Technoz, Jakarta - Laju inflasi Indonesia pada November diperkirakan terakselerasi. Namun inflasi inti lagi-lagi melambat, perlambang permintaan yang kurang kuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi November pada 1 Desember esok hari. Konsensus yang dihimpun Bloomberg memperkirakan inflasi November ada di 0,23% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Lebih tinggi dibandingkan Oktober yang sebesar 0,17% mtm.
Jika terwujud, maka inflasi 0,23% akan menjadi yang tertinggi sejak April atau 7 bulan terakhir.
Dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy), inflasi November diperkirakan sebesar 2,7%. Lebih tinggi dari Oktober yaitu 2,56%.
Pada awal November, PT Pertamina (Persero) menurunkan harga BBM non-subsidi seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamax Green. Tidak hanya Pertamina, perusahaan migas swasta pun menurunkan harga jual BBM mereka.
Namun itu sepertinya belum cukup untuk meredam inflasi. Sebab, harga sejumlah komoditas pangan masih bergerak naik.
Mengutip catatan Badan Pangan Nasional (Bapanas), rata-rata harga bawang merah sepanjang November adalah Rp 27.240/kg. Melonjak 17,51% dibandingkan bulan sebelumnya.
Kemudian harga cabai merah keriting pada November adalah Rp 61.770/kg. Dibandingkan Oktober, harga meroket 40,19%.
Lalu harga cabai rawit merah selama November tercatat Rp 75.270/kg. Melesat 44,42% dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara harga gula konsumsi sepanjang November adalah Rp 16.500/kg. Naik 6,04% dari bulan sebelumnya.
Ada Masalah Daya Beli
Meski inflasi umum meninggi, sepertinya tidak demikian dengan inflasi inti. Konsensus yang dihimpun Bloomberg memperkirakan inflasi inti pada November sebesar 1,9% yoy.
Jika terwujud, maka inflasi inti di 1,9% yoy akan menjadi yang terendah sejak Januari tahun lalu.
Inflasi inti berisikan komponen barang dan jasa yang harganya tidak mudah naik-turun, tidak fluktuatif, persisten. Kalau harga yang ‘bandel’ saja sampai melambat, maka menjadi cerminan bahwa konsumen mengalami masalah di daya beli.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menilai salah satu penyebab pelemahan daya beli adalah minimnya rangsangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Anggaran negara masih menunjukkan pelemahan, dan akan berlanjut hingga kuartal I dan II 2024. Ini akan ikut memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, karena belanja pemerintah bisa mempengaruhi konsumsi rumah tangga dan investasi,” tegas Satria dalam risetnya.
Sepanjang Januari-Oktober, realisasi belanja negara adalah Rp 2.240,1 triliun. Turun 4,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Pasar berekspektasi adanya perputaran uang yang lebih tinggi karena efek Pemilu. Namun kenyataannya, peningkatan tensi politik mungkin malah membuat pemerintah mempercepat proyek. Di tingkat provinsi, ini menyulitkan karena gubernur kebanyakan adalah pejabat (pj) yang dipilih oleh pemerintah pusat,” papar Satria.
(aji)