Dalam membangun rumah ibadah, pemerintah telah menetapkan ketentuannya melalui peraturan bersama Menteri Agama (Menang) dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nomor 9 tahun 2006 dan nomor 8 tahun 2006.
Ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 13 ayat 2 yang berbunyi 'Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga
kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta
mematuhi peraturan perundang-undangan.
Selain itu juga tertuang dalam pasal 14 ayat 2 yang berbunyi: Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat
harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Maka cerita rumah ibadah itu harus segera diselesaikan agar dicarikan jalan keluar yang paling cepat, paling mudah sehingga orang tidak merasa terhambat untuk beribadah dan enggak boleh diganggu
Ganjar Pranowo
Terkait aturan tersebut yakni mengenai adanya syarat administratif dukungan dari 90 orang umat dan 60 orang di luar umat dalam pendirian rumah ibadah di suatu wilayah bisa menjadi masalah. Apalagi bisa terjadi pencabutan dukungan dan persetujuan.
Contohnya terbaru terjadi pada Gereja Jemaah Kristen Kemah Daud, di Rajabasa, Bandar Lampung pada 18 Februari 2023. Ketua RT setempat bersama sejumlah warga memaksa membubarkan rumah ibadah ini lantaran beralasan bahwa pembangunan gereja tersebut belum memenuhi syarat yang ada di dalam keputusan dua menteri tersebut yakni dukungan dari warga nonjemaah.
Di satu sisi pihak gereja mengatakan kesulitan mendapatkan dukungan tersebut. Padahal sebelumnya, pengurus gereja telah mendapatkan dukungan dari warga setempat tetapi dukungan dicabut lantaran berganti kepemimpinan daerah.
Pada tahun ini, Setara Institute juga masih melaporkan sulitnya membangun rumah ibadah.
Berdasarkan data longitudinal Setara 2007-2022, terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah minoritas dalam satu setengah dekade terakhir. Gangguan tersebut mencakup pembubaran, penolakan peribadatan dan tempat ibadah, intimidasi, perusakan hingga pembakaran.
Setara menilai, hal ini memburuk karena pemerintah pusat lepas tangan dalam kasus-kasus itu. Padahal urusan agama ditekankan lembaga riset itu bukanlah urusan pemerintahan yang didesentralisasi dari pusat ke daerah lewat UU Pemerintahan Daerah.
(ezr)