Dalam lanskap itu, risiko pembalikan modal asing masih tetap besar sejurus dengan tetap tingginya tingkat imbal hasil investasi di Amerika Serikat (AS) dan pasar negara maju lain, ditambah dolar AS yang masih superior.
"Slower and divergence growth, di mana pertumbuhan ekonomi global akan menurun ke 2,8% pada 2024 sebelum bangkit ke 3% pada 2025," jelas Perry.
Dengan latar belakang global yang masih menantang, kebijakan moneter BI tahun depan tetap akan lebih berat bobotnya untuk menjaga stabilitas (pro-stability). Menahan bunga acuan di level tinggi 6% dalam waktu cukup lama untuk memastikan inflasi terkendali pada 2024-2025.
"Selain itu, strategi operasi moneter pro-market untuk efektivitas transmisi kebijakan, pendalaman pasar uang dan pengelolaan portofolio asing," lanjut Perry, di mana itu ditempuh melalui penerbitan tiga sekuritas baru yaitu Sekuritas Rupiah (SRBI), Sertifikat Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SUVBI).
Pertumbuhan kredit
Bunga tinggi yang dipertahankan dalam waktu lebih lama, tentu akan berdampak pada perekonomian. Tingkat bunga kredit perbankan sulit diharapkan turun. Animo sektor riil dalam mengajukan pembiayaan atau kredit juga akan tertahan karena bunga yang masih mahal.
Sebagai gambaran, sejak mengerek bunga acuan pada Agustus 2022-Januari 2023 sebanyak 225 basis poin (bps) ditambah kenaikan reaktif demi rupiah pada Oktober lalu sebesar 25 bps, pergerakan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) terlihat masih di level tinggi.
Hasil asesmen terakhir yang dilansir BI pekan lalu, mencatat, bunga kredit baru mencatat kenaikan. "Sejak peningkatan BI7DRR pada Agustus 2022, suku bunga kredit baru telah meningkat dari 9,11% menjadi 10,01%, atau sebesar 90 bps, yang terjadi di hampir seluruh kelompok bank terutama bank daerah dan bank asing," kata BI.
Survei permintaan pembiayaan yang dilansir BI menyebut, salah satu faktor penahan animo korporasi dalam mengajukan kredit adalah bunga yang mahal.
Dalam paparannya semalam, BI menegaskan, kebijakan makroprudensial tahun depan masih akan dipertahankan longgar untuk menyokong penyaluran kredit ke sektor riil. "Instrumen makroprudensial lain tetap longgar hingga Desember 2024," kata Perry.
BI menyiapkan insentif likuiditas Rp159 triliun dengan tambahan sekitar Rp20 triliun yang bisa dimanfaatkan oleh bank. Pada saat yang sama, ada tambahan fleksibilitas likuiditas sekitar Rp80 triliun lagi untuk mendukung kredit dan stabilitas sistem keuangan.
Dengan strategi itu, BI yakin pertumbuhan kredit 2024 akan berhasil lebih baik di kisaran 10%-12% dan 11%-13% pada 2025 nanti.
Sampai Oktober lalu, pertumbuhan kredit perbankan masih di batas bawah target yaitu 8,7%. Sementara target pertumbuhan kredit tahun ini ada di 9%-11%, direvisi dari sebelumnya 10%-12%.
Kehadiran sekuritas-sekuritas baru yang ditujukan untuk menarik dana asing agar rupiah lebih stabil, pada saat yang sama bisa membuat bank 'nyaman' memarkir dana alih-alih menyalurkan kredit ke sektor riil.
SRBI misalnya sudah menyedot likuditas sedikitnya Rp169 triliun dengan memberikan bunga tinggi hingga 7%. Ditambah dua sekuritas baru yang meluncur belakangan ini yaitu SVBI dan SUVBI, keduanya juga memberikan bunga tinggi melampaui tingkat imbal hasil global bond INDON tenor panjang.
Tanpa gebrakan lebih segar untuk mendorong bank agar lebih semangat menyalurkan kredit, juga perbaikan sektor riil agar pelaku usaha lebih ekspansif, sulit mengharap pertumbuhan pada 2024 akan lebih baik.
(rui/aji)