Sepanjang 2014-2024, pemerintah hampir selalu menaikkan tarif cukai rokok. Kecuali pada 2014, tidak ada kenaikan.
Kenaikan tertinggi terjadi pada 2020 yang mencapai 23% dan terendah pada 2015 yaitu 8,72%. Rata-rata kenaikan tarif cukai rokok dalam 10 tahun terakhir adalah 10,73% per tahun,
Sumber: Kemenkeu
Dampak Inflasi
Menaikkan tarif cukai tentu akan ikut mendongkrak harga jual rokok. Pada gilirannya, kenaikan harga jual rokok akan ikut mengerek inflasi.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), rokok kretek filter memiliki andil atau share terhadap inflasi sebesar 0,01%. Sementara bobot rokok kretek filter dalam keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah 0,05%.
Efek kenaikan tarif cukai rokok terhadap inflasi juga bertahan lama. Misalnya pada 2021, saat pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 12,55% dan transmisi inflasi terjadi sepanjang tahun, meski kenaikan terjadi pada 1 Januari. Demikian pula yang terjadi pada 2022, saat pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 12%.
Selain itu, patut pula dicermati bahwa rokok adalah salah satu komoditas yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat miskin. Di perkotaan, 73% pengeluaran penduduk miskin adalah untuk makanan. Dari 73% tersebut, 12,14% adalah untuk membeli rokok, hanya kalah dari beras (19,35%).
Sementara di perdesaan, sebanyak 76,08% pengeluaran penduduk miskin adalah untuk membeli makanan. Dari jumlah tersebut, 11,34% adalah untuk membeli rokok yang lagi-lagi hanya kalah dari beras (23,73%).
Oleh karena itu, kenaikan tarif cukai rokok yang otomatis menaikkan harga jual akan menggerus daya beli penduduk miskin. Mereka adalah kelompok yang paling akan merasakan dampaknya.
Rokok Masih Terjangkau
Akan tetapi, bagaimanapun juga rokok adalah produk yang berdampak buruk bagi kesehatan. Pemerintah tentu berkepentingan untuk menekan konsumsi rokok agar rakyat Indonesia bisa lebih sehat dan produktif menuju bangsa yang adil dan makmur.
Riset Tobacco Atlas menyebut kenaikan tarif cukai yang membuat harga rokok naik 10% menyebabkan konsumsi turun 4% di negara maju dan 5% di negara berkembang.
“Pajak dan harga yang lebih tinggi cukup efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau di kelompok masyarakat yang rentan, termasuk pemuda dan masyarakat miskin, karena mereka sensitif terhadap harga,” sebut riset itu.
Namun, riset Tobacco Atlas menyatakan pada periode 2014-2020 tarif pajak rokok di 72 negara stagnan atau malah turun. Di 6 dari 10 negara pada 2020, rokok malah menjadi lebih terjangkau dari 6 tahun sebelumnya.
“Harga rokok di negara-negara berpendapatan rendah turun rata-rata US$ 28 sen (Rp 4.312) per bungkus pada 2018 hingga 2020,” lanjut riset Tobacco Atlas.
Sementara riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berjudul Raising Tobacco Taxes and Prices for Healthy and Prosperous Indonesia, tarif cukai rokok di Indonesia tergolong masih rendah. Memang ada kenaikan sekitar 10% per tahun tetapi pada akhirnya harga rokok masih relatif terjangkau.
“Bahkan tingkat keterjangkauan (affordability) rokok malah meningkat 50% selama periode 2002-206. Andil dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk membeli 100 bungkus rokok turun dari 6% pada 2022 menjadi 4% pada 2016. Ini membuktikan rokok menjadi lebih terjangkau,” ungkap riset WHO.
(aji/roy)